Selama 40 tahun terakhir, kedudukan dan kewenangan kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan pada kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun ternyata belum direspon dengan baik oleh Pemerintah Pusat, dan ada indikasi gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan yang dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. Sad Dian Utomo dalam Sidang Promosi Doktor, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Senin (17/07/2023) di Auditorium EDISI 2020 Gedung M FIA UI. Dr. Sad Dian mengangkat judul disertasi “Reposisi Kelembagaan Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah: Studi di Kecamatan Cikulur-Kabupaten Lebak, Judul Kecamatan Tulakan-Kabupaten Pacitan, Kecamatan Jatiuwung-Kota Tangerang, dan Kecamatan Bubutan-Kota Surabaya”.

“Karena hal tersebut, timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah sebagai bagian dari unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi di dalam kota; menjadi unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi; ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam konteks pengelolaan kota secara terpadu?,” kata Dr. Sad Dian.

Berdasarkan konteks tersebut, Dr. Sad Dian melalui disertasinya merumuskan bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian Dr. Sad Dian ini menggunakan teori-teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, teori kelembagaan dan dinamika kelembagaan sebagai panduan.

“Dalam menjawab pertanyaan penelitian digunakan pendekatan konstruktivis dengan teknik pengumpulan dan analisa data kualitatif melalui studi kasus di empat kecamatan, yaitu Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dinamika kelembagaan kecamatan, yaitu kedudukan dan bentuk organisasi kecamatan, kewenangan camat, perencanaan dan penganggaran kecamatan, pelaksanaan tugas camat, dan pengukuran kinerja kecamatan lebih banyak disebabkan oleh faktor eksogen daripada faktor endogen,” ungkapnya.

Dr. Sad Dian menjelaskan bahwa faktor eksogen yang dimaksud adalah kebijakan nasional terkait kecamatan, peran pembina kecamatan, komitmen bupati/wali kota, persepsi publik, teknologi informasi dan karakteristik wilayah. Sedangkan faktor endogen meliputi SDM aparatur kecamatan, anggaran kecamatan dan kreatifitas camat. Selanjutnya, dilakukan rekonstruksi berupa reposisi kelembagaan kecamatan dengan merumuskan tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan hybrid.

“Model kelembagaan kecamatan kawasan perdesaan dimana kecamatan menjadi ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan camat adalah “wakil bupati” setingkat kepala bagian, yang kewenangannya diperluas melalui pelimpahan kewenangan. Tugas utama camat memastikan semua program dan pelayanan ke desa melalui satu pintu; mengoordinasikan OPD di tingkat kecamatan agar sinergis; menangani pelayanan administrasi sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat; dan menjadi saluran pengaduan. Model ini mensyaratkan kuatnya pendekatan kewilayahan bupati,” kata Dr. Sad Dian.

Model kedua yaitu kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, kata Dr. Sad Dian, dimana camat berubah fungsinya menjadi manajer kawasan perkotaan. Tugas utamanya adalah pemberdayaan masyarakat; pendampingan kelompok miskin dan rentan; memastikan warga mendapatkan akses dan kualitas pelayanan publik yang memadai; menjadi saluran pengaduan bagi masyarakat yang memiliki hambatan mengakses teknologi informasi; dan penanganan konflik sosial. Pemerintah kota juga dapat mensentralisasi pelayanan publik melalui sistem satu pintu, sehingga lebih menjadi mudah, cepat dan murah.

“Ketiga, model kelembagaan kecamatan hybrid, yang mensinergikan pendekatan kewilayahan dan sektoral. Kecamatan menjadi hub antara pemda kabupaten/kota dengan pemerintah desa/kelurahan, dan berperan strategis melalui koordinasi teknis fungsional dengan instansi vertikal; memfasilitasi rakor lintas sektor yang melibatkan UPTD; memfasilitasi perencanaan bersama dengan pemerintah desa dan koordinasi teknis fungsional dan operasional dengan OPD lain,” ungkapnya.

Dalam acara sidang promosi doktor ini, Dr. Sad Dian berhasil menjadi doktor ke-32 dari Fakultas Ilmu Administrasi dan ke 220 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan.

Sebagai informasi, sidang promosi doktor Dr. Sad Dian ini diketuai oleh Prof. Ir. Bernardus Yuliarto Nugroho, MSM., Ph.D dengan Promotor: Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. dan Co-Promotor: Prof. Dr. Teguh Kurniawan, M.Sc. serta Tim Penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Djoehermansyah Djohan, M.A.; I Made Suwandi, M.Soc.Sc., Ph.D.; Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M.Si.; Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc.; dan Dr. Achmad Lutfi, S.Sos., M.Si.