Berpindahnya ibu kota negara membawa bangsa Indonesia bekerja keras menuntaskan pengaturan Jakarta kelak setelah ia tak lagi jadi ibu kota. Ini dibuktikan dengan masuknya draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ dalam pembahasan di DPR.

Draf ini mencengangkan publik akibat adanya ide pengisian jabatan gubernur yang kelak memimpin Jakarta lewat cara pengangkatan oleh presiden sebagai kepala pemerintahan RI. Ini dinilai sebagai kemunduran demokrasi.

Ihwal perumusan pola semacam itu juga ditengarai sebagai upaya mempertahankan kekhususan tata kelola kota Jakarta kelak. Kondisi ini tentu harus dikaji secara mendalam dan saksama oleh bangsa Indonesia agar tidak ada kekeliruan demi kemajuan bersama.

Fakta empiris Jakarta sebagai ibu kota dengan level megalopolitan menunjukkan adanya kestabilan di berbagai bidang. Namun, perlu dicatat, setiap kali pilkada gubernur, terutama sejak mekanisme pemilihan secara langsung diterapkan, terjadi kenaikan tingkat keguncangan politik meski tetap terkendali. Ini karena padanya melekat status ibu kota RI.

Kota strategis bangsa yang harus dijaga dengan segala daya upaya. Hasilnya, kondisi Jakarta sampai hari ini tetap stabil. Namun, kondisi ini tak terjamin jika ibu kota RI efektif berpindah ke Penajam Paser Utara sebagai ibu kota negara baru.

Dengan posisi Jakarta sebagai megalopolitan, pilkada secara langsung di Jakarta ke depan dapat mendorong instabilitas karena friksi politik yang naik dan memanas, sedangkan posisinya saat itu jauh dari ibu kota RI yang baru. Hal ini masih ditambah lagi dengan alat-alat vital negara yang juga keluar dari kota besar ini.

Dengan demikian, menjaga kestabilan kota ke depan menjadi isu strategis bagi Jakarta.

Kota besar megalopolitan kelas dunia tak mungkin dikelola dalam keadaan tak stabil. Stabilitas ini sangat mungkin berpotensi terganggu dari aspek politik dalam rangka pilkada.

Ini diakui Steve Leach (1991). Pemerintahan daerah untuk wilayah perkotaan, terlebih yang sudah membesar, haruslah stabil. Ini bisa dijaga, salah satunya, dengan lebih mengandalkan demokrasi perwakilan ketimbang demokrasi langsung (representative democracy). Hal ini karena tipikal tata kelola kota-kota yang telah membesar cenderung menjadi market enabler oriented.

Dalam hal ini, kekhususan Jakarta ke depan bisa saja dibuat mekanismenya melalui pemilihan di DPRD Kota Jakarta, tidak dengan secara langsung. Jika draf RUU DKJ jadi disahkan dan gubernur diangkat oleh presiden, situasinya malah menjadi over-stabil. Dan kondisi over-stabil ini justru mematikan inovasi dan tidak mencerminkan kehendak warga.

Manajerialisme korporatis

Jakarta yang megalopolis sesungguhnya cocok dengan managerialism corporatism (Pinch: 1985). Dalam aspek politik, pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui demokrasi perwakilan dan dilanjutkan dengan adanya CEO untuk menakhodai birokrasi pemerintah kotanya. Ini yang luput dibahas di draf RUU.

Jakarta membutuhkan desain yang tak biasa-biasa saja ke depan. Dalam draf RUU yang disusun pemerintah dan draf RUU yang disusun DPD Agustus lalu, isi perubahan DKJ dapat dinilai biasa-biasa saja. Kedua draf RUU itu masih menciptakan kondisi Jakarta seperti sekarang, tetap mempertahankan kekhususannya melalui penekanan perubahan kewenangan khusus yang diatur kembali dalam kedua draf RUU.

Jika Jakarta ingin tak biasa-biasa saja, sudah seharusnya draf RUU DKJ diubah secara nomenklatur jadi Draf RUU Megalopolitan Jakarta (MJ). Di bawah megalopolitan diberi nomenklatur metropolitan.

Birokrasi kota Jakarta juga tak lagi memiliki nama-nama kuno, seperti dinas, badan, dan unit pelaksana teknis (UPT); tetapi menjadi departemen, agensi, office, dan lain-lain, yang lebih maju. Organisasi kewilayahan harus dibenahi secara lebih berani. Kecamatan diubah namanya menjadi nama lain yang lebih maju pula. Kelak kelurahan-kelurahan hanya berupa office-office.

Jakarta dengan kemajuan yang luar biasa harus dijaga kestabilannya mulai dari sejak awal pengisian posisi gubernur sebagai kepala daerah. Selanjutnya, gubernur akan menunjuk seorang CEO bagi birokrasi megalopolitan Jakarta yang tak biasa-biasa saja. Jakarta adalah kota global yang berkarakter megalopolitan dan berbeda dari kota-kota dunia yang menyandang sebagai ibu kota saat ini.

Tokyo Prefecture setingkat provinsi, yang terdiri dari berbagai daerah otonom di bawahnya, antara lain Tokyo Metropolitan, Chiba, dan Yokohama. Ibu kota negara Jepang ada di Tokyo Metropolitan setara dengan Jakarta Pusat saja. Di negara-negara lain bahkan hanya setingkat daerah otonom, setara dengan kota-kota di dalam megalopolitan Jakarta.

Sebut saja Manila, Canberra (meski statusnya state), dan New York. Di kota-kota metropolitan yang menjadi ibu kota tersebut, pengangkatan wali kota melalui DPRD.

Sudah saatnya Jakarta dinyatakan oleh bangsa Indonesia sendiri sebagai kota megalopolitan dan dijaga kestabilan otonominya, tidak mencontoh negara lain yang tanpa perhatian serius makna dan hakikatnya. Kelak tanpa status ibu kota, Jakarta tetap menjadi kota hebat dunia yang didukung oleh kelembagaan yang mencerminkan kota modern dan maju.

Untuk itu, RUU DKJ perlu dibenahi ulang agar tidak terjebak menjadi kota yang biasa-biasa saja dengan koridor stabilitas otonomi, tetapi tidak mematikan inovasi dan aspirasi masyarakatnya. Semoga.