Reformasi birokrasi menjadi suatu keharusan bagi keberhasilan pembangunan bangsa dan negara. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010, Indonesia sejatinya sudah memiliki grand design reformasi birokrasi menuju birokrasi kelas dunia pada 2025.

Birokrasi kelas dunia tersebut ditandai dengan terciptanya kualitas pelayanan publik yang prima, pemerintahan yang akuntabel dan bebas dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), efisiensi, serta efektivitas pemerintahan.

Akan tetapi, jika dilihat hasilnya, program reformasi birokrasi (RB) masih belum mencapai apa yang diharapkan. Corak kerja birokrasi Indonesia masih belum berubah, ditandai dengan ego sektoral yang tinggi dan rendahnya orientasi kinerja. Perilaku koruptif masih belum hilang, ditandai dengan Indeks Persepsi Korupsi yang tak berubah sejak 20 tahun lalu.

Karena itu, visi dan komitmen presiden terpilih untuk program RB akan menjadi kunci keberhasilan program pembangunan. Tulisan ini menjelaskan beberapa prioritas dalam RB untuk presiden terpilih.

Faktor kelemahan RB

Kelemahan program RB selama ini, jika tidak disebut sebagai kegagalan, disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, berbagai program RB (atau disebut juga area perubahan) sering tidak terintegrasi satu dengan lainnya. Program penataan SDM tak terhubung dengan penataan kelembagaan, juga tak terhubung dengan perbaikan perencanaan dan penganggaran serta perbaikan kualitas pelayanan publik.

Kedua, program RB dimaknai sebagai perubahan formal yang mengutamakan ketersediaan dokumen dan ”kertas”. Aspek formalitas dalam perubahan birokrasi ini mengabaikan dampak yang harus dicapai untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, seperti penanggulangan kemiskinan dan kemudahan berinvestasi.

Program RB belum menjadi suatu gerakan nasional di mana setiap pimpinan instansi pemerintah, aparatur sipil negara (ASN), dan masyarakat bersungguh-sungguh melaksanakan serta saling mengawasi hasil yang dicapai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa program masih bersifat ”elitis”.

Ketiga, berbagai persoalan birokrasi yang dihadapi sangat besar dan kompleks, mulai dari persoalan intervensi politik, budaya korupsi, struktur organisasi yang gemuk dan tidak sehat, ketiadaan orientasi kinerja, hingga kompetensi SDM yang lemah. Program reformasi yang dijalankan tak substansial untuk mengatasi semua masalah itu sehingga program RB tidak mampu mengubah budaya dan sistem birokrasi yang eksis.

Keempat, program RB masih dimaknai sebagai upaya meningkatkan tunjangan kinerja ASN di kementerian/lembaga (K/L) sehingga yang terjadi adalah perlombaan untuk meningkatkan tunjangan kinerja, bukan substansi perubahan itu sendiri.

Kelima, program RB belum terjadi secara menyeluruh di pemerintahan daerah, masih banyak kabupaten/kota yang tak melaksanakan RB. Padahal, pemerintahan kabupaten/kota adalah ujung tombak pelayanan publik kepada masyarakat.

Berbagai hal tersebut perlu menjadi perhatian para calon presiden-calon wakil presiden yang saat ini sedang berkompetisi di Pilpres 2024.

Program RB sudah dijalankan sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo, tetapi kita perlu terus memperbaiki substansi dan cara melakukan perubahan.

Penulis mengusulkan empat fokus program RB, menyesuaikan dengan tuntutan perubahan lingkungan yang terjadi. Program ini saling terkait dan harus dilaksanakan bersamaan.

Birokrasi generasi Y, Z, dan Post-Z

Fokus pertama program RB adalah bagaimana birokrasi bisa memberikan kesempatan kepada generasi Y, Z, dan Post-Z, yang jumlahnya saat ini 63 persen dari penduduk Indonesia, bisa berkarier dan berinovasi dalam birokrasi.

Tahun 2025 adalah momentum pergantian generasi dalam birokrasi Indonesia. Data Badan Kepegawaian Negara tahun 2023 menunjukkan, saat ini jumlah generasi baby boomers di birokrasi adalah 4 persen dan akan meninggalkan birokrasi pada tahun depan.

Jumlah generasi X saat ini dalam birokrasi Indonesia adalah 40 persen. Sebagian mereka menduduki jabatan pimpinan tinggi. Generasi Y dan Z berjumlah 55 persen dan dengan rekrutmen 2,3 juta ASN baru pada 2024 ini, jumlahnya akan menjadi sekitar 70 persen pada tahun depan.

Generasi Y dan Z menghendaki karier yang cepat, menuntut pengembangan pribadi dan aktualisasi diri, kesesuaian budaya kerja, pengakuan terhadap prestasi dan kinerja, dan pemanfaatan teknologi mutakhir dalam bekerja.

Apa dampak pergantian generasi ini bagi birokrasi?

Keberadaan dan jumlah ASN generasi Y, Z, dan Post-Z yang akan mendominasi ASN menuntut adanya perubahan budaya kerja yang lebih fleksibel, mengutamakan work-life balance, dan hubungan berbasiskan jejaring (network).

Corak bekerja birokrasi masih bersifat hierarki dan berbasis kewenangan, berbelit-belit, serta tidak memungkinkan tumbuhnya inovasi dan kreativitas. Birokrasi tidak menarik untuk menjadi profesi bagi kalangan anak-anak muda.

Oleh karena itu, program RB harus diarahkan untuk membangun flexible work arrangement dan squad model yang memungkinkan mobilitas ASN lintas instansi pemerintah.

Di samping itu, perlu kejelasan ukuran kinerja individu dan prospek pengembangan diri pegawai ASN. Tentu saja faktor penghasilan tetap menjadi penting bagi pegawai ASN dan ini dapat ditingkatkan melalui hasil efisiensi pengeluaran belanja negara yang lebih akuntabel.

Kolaborasi antar-instansi

Fokus program RB kedua adalah penguatan kolaborasi antar-instansi pemerintah di tingkat pusat (K/L) serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Karakter birokrasi Indonesia saat ini adalah scattered, duplikatif, silo, dan ego sektoral. Selain itu, banyak program dan kegiatan pembangunan yang tak memiliki indikator outcome dan dampak pada masyarakat.

Berdasarkan hasil review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2023 terhadap rencana kerja pemerintah tahun 2022 ditemukan, dari 77 indikator kinerja prioritas nasional, hanya 23 indikator kinerja yang tercapai, 37 indikator kinerja tak tercapai, dan 17 indikator kinerja tak diketahui capaiannya.

Temuan BPKP ini menunjukkan banyak sekali program dan kegiatan pembangunan yang tak mendukung pencapaian tujuan bernegara.

Laporan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2023 menyatakan, potensi inefisiensi keuangan negara yang bisa diselamatkan melalui perbaikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah mencapai Rp 121,9 triliun.

Hal ini tidak termasuk program dan kegiatan yang tumpang tindih antar-K/L karena lemahnya kolaborasi antar-instansi pemerintah. Karena itu, pembenahan sistem perencanaan, penganggaran, perbendaharaan, laporan keuangan, dan kinerja lintas sektor dalam suatu Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah sangat mendesak dibutuhkan.

Selain itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas harus melakukan analisis dampak (impact analysis) terhadap setiap rencana program dan kegiatan yang diusulkan oleh K/L.

Sebagai informasi, di Australia, setiap tahun lebih kurang 3.000 program/kegiatan pembangunan dianalisis dampaknya oleh office of impact analysis, dan hanya maksimum 80 sampai 90 program/kegiatan disetujui untuk dilaksanakan dan dibiayai keuangan negara.

Percepatan transformasi digital

Fokus program RB ketiga adalah percepatan transformasi digital. Perkembangan berbagai teknologi maju (teknologi informasi, kecerdasan buatan, internet of things, robotik) memaksa pemerintah melakukan transformasi digital secara cepat.

Beberapa masalah saat ini adalah kesulitan melakukan integrasi data dari semua instansi pemerintah meski sudah ada kebijakan Satu Data Indonesia (SDI), interoperability system yang masih belum terjadi, keamanan siber yang harus dijamin, literasi digital untuk masyarakat, dan jaringan internet yang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2023, pemerintah telah menetapkan transformasi digital untuk sembilan layanan prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan, kependudukan, sosial, keuangan negara, administrasi pemerintahan, layanan kepolisian, serta portal layanan publik dan data.

Melaksanakan transformasi digital ini telah pula dimandatkan kepada Perum Peruri sebagai badan pelaksana transformasi digital Indonesia.

Persoalan terbesar yang harus dihadapi pemerintahan baru dalam transformasi digital adalah perekayasaan proses bisnis intra dan antarkementerian karena setiap urusan dan sub-urusan pemerintahan memiliki undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri masing-masing, selain ego sektoral yang tinggi.

Budaya dan sistem antikorupsi

Fokus keempat program RB adalah pembentukan budaya dan sistem antikorupsi. Selama ini program RB gagal mencapai target pengurangan kasus korupsi. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 adalah 34. Kasus-kasus korupsi ASN dan pejabat politik (menteri, pimpinan lembaga, dan kepala daerah) masih marak.

Statistik pelaku tindak pidana korupsi terus meningkat tajam sejak tahun 2010 hingga saat ini. Untuk mengurangi dan memberantas korupsi di birokrasi, presiden terpilih harus memperkuat sistem pengawasan internal pemerintah yang dapat mendeteksi potensi penyalahgunaan dan inefisiensi program/kegiatan.

Pada tahun 2014, telah dirampungkan RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah, tetapi belum dibahas bersama DPR. Kiranya pembahasan RUU ini dapat dilakukan di awal pemerintahan baru nanti.

Dengan empat fokus program RB itu, diharapkan akan tercipta pemerintahan yang baik dan dapat mendukung pencapaian sasaran program pembangunan nasional. Semoga.