Menjadi World Class University bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh perguruan tinggi Indonesia. Hal yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi Indonesia adalah governansi perguruan tinggi yang sesuai dan adaptif, yang didukung oleh budaya unggul, kemampuan pembelajaran yang berkelanjutan (continuous learning) atau kemampuan dinamis (dynamic capabilities) untuk menyusun konsep, menemukan strategi dan mendesain ulang kebijakan World Class University sehingga mendapatkan reputasi yang lebih baik. Ketiga Dimensi tersebut dapat dikuatkan dalam variable Dynamic University Governance.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. Vivi Indra Amelia Nasution, S.I.P., M.A. pada Sidang Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi Publik, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Selasa (11/07/2023) di Auditorium EDISI 2020 Gedung M FIA UI. Dr. Vivi mengangkat judul disertasi “Dynamic University Govenance, Menuju Pencapaian World Class University (WCU) Di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia Dan Institut Teknologi Bandung”.

“Penelitian ini dibingkai oleh Variabel Dynamic University Governance (DUG) yang dikembangkan dari kerangka dan teori University Governance dan Dynamic Governance. Otonomi atau Self-governing, merupakan salah satu aspek University Governance yang bersinggungan dengan dan teori University Governance. Otonomi merupakan transformasi governansi perguruan tinggi yang memberikan ruang gerak dan keleluasaan bagi perguruan tinggi tidak hanya menentukan kebijakan tetapi juga melaksanakan kebijakan,” kata Dr. Vivi.

Lebih lanjut, Dr. Vivi menyebut bahwa ada tiga faktor penting yang menentukan keberhasilan otonomi, yaitu misi dan profil perguruan tinggi selalu kontekstual, peranan struktur internal dan budaya perguruan tinggi yang kompleks, dan self-government yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat di semua jenjang dan di semua bidang yang ada di lingkup perguruan tinggi.

Sementara itu, Dynamic Governance dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007) sebagai hasil dari pemikiran dan pembelajaran yang baru (new thinking and learning), dan diejawantahkan (manifested) dalam bentuk jalur baru (newpaths), pada kebijakan-kebijakan adaptif dan perubahan institusi. Hasilnya dapat terlihat dalam dua bentuk meliputi kebijakan yang direvisi (revised policies) dan restrukturisasi institusi (restructured institutions).

“Dengan kata lain, hasil adalah dimensi perubahan (change), yang akan didapatkan ketika sistem governansi (governance system) yang meliputi dua dimensi utama yaitu budaya (culture) dan kapabilitas (capability) saling berinteraksi memperkuat satu dan lainnya dan bekerja secara sistemik. Ketika masing-masing faktor penentu keberhasilan University Governance dan tiga Dimensi Dynamic Governance disandingkan maka akan terlihat relasi,” kata Dr. Vivi.

Relasi yang dimaksud diantaranya adalah governansi perguruan tinggi mengalami perubahan, berlangsung secara kontekstual dan dinamis, memerlukan budaya dan kepemimpinan yang kuat serta menuntut kemampuan pembelajaran internal perguran tinggi. Kerangka inilah yang menjadi konstruksi Variabel Dynamic University Governance (DUG). Dengan kata lain, Variabel baru ini mengambil, memadukan dan menguatkan masing-masing dimensi dan indikator yang membangun konsep University Governance ataupun Dynamic Governance.

Penelitian multi case study ini memilih ketiga perguruan tinggi negeri badan hukum yaitu UI, ITB, dan UGM. Dr. Vivi menyebut transformasi governansi perguruan tinggi sebagai PTNBH yang otonom memunculkan kompleksitas permasalahan, terutama untuk bidang akademik, organisasi, keuangan dan sumber daya manusia. Di sisi lain, proses ini dilakukan bersamaan dengan amanat pencapaian reputasi dan rekognisi akademik, riset dan juga sosial lingkungan.

“Dengan merujuk pada Variabel Dynamic University Governance terdapat dua hasil penelitian, yaitu yang pertama, manifestasi Variabel Dynamic University Governance (DUG) yang dimiliki, UGM, UI, dan ITB dalam pencapaian World Class University secara keseluruhan dapat dijelaskan menggunakan 3 Dimensi, 8 Subdimensi, 27 indikator dan 35 ukuran indikator. Secara nasional, manifestasi DUG terlihat dari Dimensi Change yaitu melalui kebijakan otonomi PTNBH serta perubahan organisasi perguruan tinggi yang menyertainya,” kata Dr. Vivi.

Namun, kata Dr. Vivi, dalam praktiknya masing-masing perguruan tinggi memiliki ciri manifestasi DUG dalam pencapaian WCU yang tidak sama. Penelitian ini menemukan bahwa pada dimensi Change DUG terutama dalam sub dimensi perubahan kebijakan (revised policy) dengan merujuk kepada 4 konsep otonomi meliputi otonomi organisasi, otonomi keuangan, otonomi SDM dan otonomi akademik di UGM, UI, dan ITB terlihat dalam ritme yang hampir senada. Perubahan kebijakan tersebut melahirkan kebijakan adaptif yang disesuaikan untuk mencapai reputasi dan rekognisi sebagai WCU.

“Perubahan kebijakan WCU yang disematkan dalam kegiatan Tridharma tersebut diturunkan (cascading) ke unit seperti fakultas dan prodi. Untuk sub dimensi perubahan struktur (restructured institutions) di UGM dan ITB tidak begitu terlihat, dari awal penetapan sebagai PTNBH. Begitupun dengan unit yang didelegasikan sebagai koordinator WCU, yaitu masih di bawah Kantor Jaminan Mutu (KJM) UGM di UGM dan di bawah SPM ITB di ITB. Indikator perubahan struktur (restructured institutions) kemudian tampak pada upaya UI untuk membentuk dan melibatkan beberapa unit di UI seperti Task Force WCU, Biro TREM, dan DPASDP (PAU) untuk lebih solid mendukung WCU UI,” kata Dr. Vivi.

Lebih lanjut Dr. Vivi menyebutkan Dimensi dari variabel Dynamic University Governance yang determinan untuk dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi dalam mencapai World Class University adalah Dimensi Budaya dan Dimensi Dynamic Capabilities. Untuk Dimensi Budaya dapat ditunjukkan oleh semua sub dimensi dan indikator. UGM, UI dan ITB memilki nilai-nilai dan prinsip budaya unggul baik akademik maupun non-akademik. Hal tersebut juga dijabarkan dalam visi jangka panjang menuju WCU. Untuk Dimensi Dynamic Capabilities, ditunjukkan oleh sub dimensi thinking again dan sub dimensi thinking across,” ungkapnya.

Indikator thinking ahead tidak dapat disebut determinan karena ketiga perguruan tinggi memiliki kemampuan merumuskan konsep dan ide kebijakan yang relatif senada yaitu memasukkan WCU sebagai visi perguruan tinggi. Selain itu mereka pun memulai mengembangkan kemampuan thinking ahead di waktu yang hampir sama. Namun, setelahnya tidak semua perguruan tinggi bergerak serentak melakukan reviu dan desain ulang kebijakan untuk diperbaiki sehingga dapat menghadapi kenyataan dan tantangan (thinking again). Kemudian, dilanjutkan dengan kemampuan untuk memunculkan inovasi dengan merujuk pada pengalaman dari konteks lain dan menyesuaikannya (customizing) dengan konteks dan keadaan yang dimiliki (thinking across). Sejalan dengan itu, indikator pengungkit pada Dimensi Dynamic Capabilities, able people lebih berperan di UI sedangkan agile process lebih menonjol tampak di UGM dan ITB.

Dalam acara sidang promosi doktor ini, Dr. Vivi berhasil menjadi doktor ke-31 dari Fakultas Ilmu Administrasi dan ke 219 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan.

Sebagai informasi, sidang promosi doktor Dr. Vivi ini diketuai oleh Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M.Si. dengan Promotor yaitu Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. dan Co-Promotor yaitu Vishnu Juwono, S.E., M.I.A., Ph.D. dan anggota penguji Prof. Dr. Samu’un Jajaraharja; Prof. Dr. Bambang Supriono; Dr. Phil. Reza Fathurrahman, MPP; dan Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc.