Etika memainkan peran penting dalam proses pembuatan kebijakan publik di era disrupsi sehingga dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral, keadilan, dan kepentingan masyarakat. Etika juga diharapkan dapat memastikan bahwa kebijakan tidak hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi juga melayani kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.

“Disrupsi merupakan suatu fenomena yang mengindikasikan perubahan dalam skala besar. Berbagai aspek memperoleh dampak dari perubahan tersebut, tak terkecuali governansi. Beradaptasi menjadi faktor signifikan yang diperlukan untuk menghadang berbagai tantangan era disrupsi untuk governansi,” kata Prof. Dr. Teguh Kurniawan, M.Sc.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dosen Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Prof. Dr. Teguh Kurniawan, M.Sc., saat membacakan pidato nya pada Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia di Balai Sidang, Kampus UI Depok pada Rabu, 6 September 2023 pagi.

Era disrupsi, kata Prof. teguh, mengantarkan governansi pada titik puncak transformasi teknologi terbesar sejak Revolusi Industri, yang menyebabkan kompleksitas sosial dan politik yang signifikan. Transformasi ini akan mengancam kemampuan governansi untuk mempersiapkan society yang tidak memiliki keterampilan, kemampuan beradaptasi, dan kerapuhan.

“Dalam kerangka governansi, titik tumpu yang mengambil peran penting adalah ‘negara’ dalam artian ini Pemerintah yang memegang peran paling diuji pada kondisi ekstrim dari gangguan era disrupsi. Peran penting yang harus diambil oleh negara dalam merespon disrupsi dengan melibatkan kombinasi strategi dan kebijakan yang proaktif dan holistik,” ungkapnya.

Dirinya menuturkan setidaknya terdapat tiga hal penting yang menjadi landasan pembuatan kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa dalam menghadapi tantangan governansi publik di era disrupsi.

“Pertama, proses politik pembuatan kebijakan publik tidak boleh keluar dari tujuan besar sebuah kebijakan disusun. Sekalipun kebijakan ini sedikit banyak tidak sejalan dengan kepentingan kelompok yang menjadi influencer kebijakan. Sebab tidak ada pertarungan besar buat sebuah negara yang mengabaikan kepentingan besarnya hanya untuk memuluskan kepentingan kelompoknya saja. Dengan demikian, proses penyusunan kebijakan pada tataran politik etikanya mengacu kepada kepentingan besar negara,” ungkapnya.

Kedua, pria yang akrab disapa Prof. Teguh ini menuturkan bahwa penyusun kebijakan harus berdiri diatas bukti yang benar, proporsional dan mencakup multidisiplin.

“Dengan demikian semua informasi, data, dan bahan untuk penyusunan kebijakan menjadi pertimbangan dan tidak ada pengabaian pada informasi sekecil apapun. Era disrupsi ditandai dengan terbukanya akses atas data dan informasi seluas mungkin yang kita kenal dengan big data. Namun, data selalu memiliki hukumnya sendiri, yaitu garbage in sama dengan garbage out. Pada titik ini, memilih kebenaran data sekali lagi mengacu pada etika,” ungkapnya.

Di hadapan kurang lebih 400 peserta yang mengikuti sesi pengukuhannya, Prof. Teguh menjelaskan poin ketiga, yaitu kebijakan tidaklah didesain tanpa diimplementasikan.

“Dengan demikian, tujuan besar yang ada di kebijakan tidak boleh dikorup oleh implementasi yang salah. Masalah terbesar dalam proses governansi publik terletak pada munculnya discrepancy yang besar antara tujuan kebijakan yang ada di atas kertas dengan yang terjdi di lapangan. Dengan demikian, etika sekali lagi menjadi moral compass untuk memastikan agar tidak ada lagi diskrepansi kebijakan yang terjadi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Teguh menekankan kembali bahwa kebijakan harus diarahkan untuk mengurangi kesenjangan dan memastikan akses yang adil terhadap manfaat disrupsi. “Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan implikasi moral dari teknologi baru dan inovasi dalam konteks sosial yang berubah,” tegasnya.

Etika juga, kata Prof. Teguh, diharapkan dapat mendorong penilaian mendalam terhadap dampak sosial dari kebijakan. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan bagaimana kebijakan baru dapat mempengaruhi pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan aspek lain dari kehidupan masyarakat. Pembuat kebijakan juga perlu mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari kebijakan yang diambil.

Diketahui, Prof. Teguh merupakan guru besar ke-10 semenjak Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia berdiri di tahun 2015.