Sebagai profesi klasik yang akan selalu ada karena dibutuhkan di berbagai zaman, profesi dokter memiliki potensi kontribusi penerimaan pajak yang cukup besar dan perlu mendapat perhatian. Diperlukan reformulasi kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk pekerjaan bebas dokter, karena sebagian besar profesi dokter menggunakan NPPN. Fokus reformulasi kebijakan NPPN harus memperhatikan keseimbangan pemenuhan asas pemungutan pajak, yaitu kewajaran kemampuan membayar (fairness), kelayakan bagi penerimaan negara (sufficiency), dan kemudahan administrasi (ease of administration).

Pernyataan pembuka tersebut disampaikan Dr. Neni Susilawati, S.Sos., M.A. pada siding promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Rabu (03/01/2024) di Auditorium EDISI 2020 Gedung M FIA UI. Dr. Neni mengangkat judul disertasi “Reformulasi Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Pekerjaan Bebas Dokter: Suatu Studi Kebijakan Berbasis Konstruksi Model Sistem”.

“Dari observasi awal penelitiannya diperoleh bahwa jumlah dokter di Indonesia pada satu decade terakhir menunjukkan tren peningkatan. Namun, kontribusi penerimaan PPh dari KLU profesi dokter justru menunjukkan stagnansi. Padahal, profesi dokter tercatat sebagai profesi dengan gaji tertinggi di Indonesia pada tahun 2023. Belum lagi bila dikaitkan dengan pembayaran jasa medis yang juga dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada dokter mitra namun belum dipotong PPh. Tentu hal ini akan berimplikasi pada penerimaan pajak negara,” kata Dr. Neni.

Di sisi lain, Dr. Neni juga menangkap isu fairness yang dikemukakan oleh kalangan profesi dokter itu sendiri. Dalam PER DJP No. 17 Tahun 2015 ditetapkan bahwa besaran persentase NPPN untuk dokter adalah sama untuk ketiga kelompok wilayah yaitu 50%. Begitu juga dengan jenis spesialisasinya, baik untuk dokter umum, dokter gigi, dan dokter spesialis ditetapkan NPPN dengan persentase 50%. Narasumber dari perwakilan PB IDI menyampaikan bahwa perbedaan jenis profesi dokter serta perbedaan daerah praktik akan memengaruhi besaran penghasilan bruto dan biaya praktik.

Terdapat urgensi dari penelitian reformulasi kebijakan NPPN untuk pekerjaan bebas dokter ini adalah karena sebagian besar profesi dokter menggunakan NPPN untuk pelaporan penghasilannya di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang bersumber dari pekerjaan bebas. Selain itu, berdasarkan informasi dari Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan tim perumus penyesuaian kebijakan NPPN yang tengah bekerja saat ini, dibutuhkan kajian akademik untuk menjadi dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan NPPN terkait dengan perlu atau tidaknya ada pembedaan persentase berdasarkan jenis profesi dokter, perbedaan wilayah praktik, dan status praktik mandiri atau tidak praktik mandiri,” kata Dr. Neni.

Dr. Neni menyampaikan bahwa ia juga berupaya menyusun pemikiran tentang bagaimana konsep kebijakan presumptive tax yang dapat memenuhi keseimbangan prinsip pemungutan pajak yang ideal dan mendorong proses formalisasi WP dari presumptive tax regime menuju conventional tax regime. Melalui disertasinya, Dr. Neni bertujuan untuk mengidentifikasi unsur dan struktur sistem dalam reformulasi NPPN bagi pekerjaan bebas Dokter sehingga dapat lebih memenuhi tax fairness guna mempermudah pelaksanaan self-assessment yang berlaku, menguraikan penyesuaian yang diperlukan untuk kebijakan NPPN bagi pekerjaan bebas dokter agar memenuhi kewajaran kemampuan membayarnya dan layak bagi penerimaan negara, dan menghasilkan alternatif model kebijakan presumptive tax untuk dapat menyeimbangkan pemenuhan prinsip pemungutan pajak bagi pekerjaan bebas.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur penghasilan bruto dokter terdiri dari pembayaran pasien dan pembayaran BPJS Kesehatan, sedangkan unsur biaya praktik dokter meliputi biaya operasional dan biaya profesi. Penyesuaian kebijakan NPPN bagi pekerjaan bebas dokter meliputi diferensiasi persentase NPPN dokter dan penambahan KLU dokter gigi spesialis,” ungkapnya.

Dr. Neni menambahkan bahwa untuk menyeimbangkan pemenuhan prinsip pemungutan pajak yang ideal dan mendorong peralihan WP dari presumptive tax regime menuju conventional tax regime, diperlukan upaya penyempurnaan kebijakan NPPN dengan penerapan konsep Pro-Fairness Presumptive Tax Policy.

Konsep Pro-Fairness Presumptive Tax Policy ini, kata Dr. Neni, mencakup dua hal yaitu kebijakan NPPN yang lebih memenuhi asas keadilan dan penerapan pembukuan sederhana yang dipersamakan dengan pembukuan formal. Dibutuhkan implementasi kewajiban transaksi pembayaran non tunai dan penggunaan aplikasi akuntansi sederhana yang terkoneksi dengan core tax system agar kebijakan pro-fairness presumptive tax ini dapat terlaksana dengan efektif.

Dalam acara sidang promosi doktor ini, Dr. Neni berhasil menjadi doktor ke-38 dari Fakultas Ilmu Administrasi dan ke 226 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan.

Sebagai informasi, sidang promosi doktor Dr. Neni ini diketuai oleh Prof. Ir. Bernardus Yuliarto Nugroho, MSM., Ph.D dengan Promotor: Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M.; Promotor: Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.; dan Co-Promotor: Dr. Ning Rahayu, M.Si.; serta penguji terdiri dari Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes.; Dr. Andreo Wahyudi Atmoko, M.Si.; Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.; Dr. Milla Sepliana Setyowati, M.Ak.; dan Dr. Inayati, M.Si.