Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan perlindungan negara kepada seluruh bangsa Indonesia dimanapun berada, di dalam maupun di luar negeri. Pekerja Migran, menurut PBB, adalah “a person who is to be engaged, is engaged, or has been engaged in a remuneration activities in a state in which he or she is not a national” seseorang yang akan, sedang, atau telah selesai melakukan aktivitas yang dibayar di negara lain.
“Mereka bekerja antara lain karena faktor penarik (pull factors) di negara tujuan. Salah satu faktor penarik dari negara tujuan, adalah kesempatan bekerja di luar negeri, menjadi tenaga kerja yang “unskilled” yang sering kali tidak diminati oleh warga setempat. Kualitas pekerjaan mereka biasa dikategorikan dengan 3D (Dirty, Dangerous and Difficult). Memperhatikan tingkat resiko pekerjaannya, maka penting bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada mereka”.
Pernyataan pembuka tersebut disampaikan Dr. Wajid Fauzi pada sidang promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Selasa (09/1/2023) di Auditorium EDISI 2020 Gedung M FIA UI Depok. Dr. Wajid mengangkat judul disertasi “Implementasi Kebijakan Tata Kelola Perlindungan Pekerja Migran Indonesia”.
“Di Indonesia, Kebijakan Tata Kelola Perlindungan Pekerja Migran tertuang dalam UU No. 18 tahun 2017. Kebijakan ini dinilai sangat revolusioner, mengubah dan memperbaiki Tata Kelola sebelumnya, yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 2004, yang lebih berorientasi bisnis, menjadi berorientasi perlindungan. Meski demikian tampaknya permasalahan yang dihadapi pekerja migran di dalam dan di Luar Negeri tidak semakin berkurang,” kata Dr. Wajid.
Di dalam negeri, kata Dr. Wajid, tergambarkan permasalahan yang dihadapi oleh pekerja migran diyakini sebagian besar justru berada di dalam negeri, antara lain ketika proses perekrutan, masih terjadinya praktik calo, pelatihan yang tidak sesuai ketentuan, dan masalah koordinasi antar pemangku kepentingan.
Penelitian yang dilakukan Dr. Wajid yang merupakan Dubes Indonesia untuk Suriah ini menggunakan paradigma post positivist dengan menguji secara deduktif fenomena yang didasari oleh teori yang telah teruji. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan Constructivism, yaitu meyakini bahwa setiap individu memaknai permasalahan sesuai dengan latar belakang masing-masing.
“Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, bahwa penelitian ini tidak hanya bertujuan menganalisis bagaimana implementasi kebijakan dan menganalisis faktor faktor yang mempengaruhinya, namun juga berupaya merumuskan arah perbaikan implementasi kebijakan. Untuk itu, guna membingkai secara teoritik, penelitian ini merujuk teori Implementasi Kebijakan dan Teori Tata Kelola,” ungkapnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Wajid ini menghasilkan temuan yaitu Implementasi kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia belum sepenuhnya berjalan sebagaimana diamanatkan oleh UU. Dari ruang lingkup perlindungan, kata Dr. Wajid, ditemukan bahwa perlindungan sebelum bekerja, merupakan periode yang sangat krusial yang belum tertangani dengan baik, masih banyak yang perlu disempurnakan.
“Masih terdapat aturan pelaksana yang belum terselesaikan, bahkan hingga sekarang, padahal UU mengamanatkan batas waktu dua tahun waktu perumusan aturan pelaksana. Peran pemerintah daerah dalam penyiapan anggaran, pendaftaran, dan pelatihan belum optimal, sehingga masih terdapat banyak kasus PMI yang menempuh jalur non prosedural. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa sudah terdapat beberapa amanat UU yang sudah diimplementasikan seperti pelaksanaan pembebasan biaya penempatan, pembentukan LTSA, maupun pemberian jaminan sosial,” tambahnya.
Dr. Wajid menyampaikan bahwa faktor yang mempengaruhi kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia yang terbagi menjadi tiga dimensi; 1) Pada karakteristik masalah, indikator yang paling dominan adalah keragaman perilaku para CPMI dan PMI yang masih banyak lebih memilih jalur non-prosedural; 2)Selanjutnya pada dimensi karakteristik kebijakan, beberapa indikator yang paling berpengaruh adalah ketersediaan alokasi sumber dana, dana tidak mencukupi, integrasi hierarki antara lembaga pelaksana, dan kejelasan peraturan pelaksanaan.
“Pada dimensi lingkungan kebijakan, indikator yang paling berpengaruh adalah komitmen pimpinan tinggi di semua level, menjadi faktor utama dalam implementasi kebijakan perlindungan PMI; dan kondisi sosial dan ekonomi yakni kesulitan ekonomi keluarga dan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai, bagi para CPMI.
Penelitian ini merumuskan alternatif perbaikan implementasi kebijakan ini dengan merujuk konsep tata kelola jejaring (networking governance) sesuai konsep yang dikemukakan oleh Bovaird dan Loeffler (2016). Diperlukan langkah yang terpadu dan terkoordinasi (integrated and coordinated) serta perlu ditumbuhkan sikap pertanggungjawaban bersama (shared accountability).
“Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa perbaikan implementasi perlu diarahkan untuk memastikan adanya komitmen pimpinan tertinggi pada setiap level; segera penyelesaian aturan pelaksanaan; sosialisasi yang tidak hanya menekankan kuantitas jumlah sosialisasi namun diperlukan kualitasnya, agar diarahkan kepada perubahan perilaku CPMI agar menghindari praktik non procedural; dan pengawasan dan penegakan hukum terhadap para pelaku perlindungan yang lalai. Kelalaian dalam tugas perlindungan, seolah belum dianggap pelanggaran serius.
Dalam acara sidang promosi doktor ini, Dr. Wajid berhasil menjadi doktor ke-40 dari Fakultas Ilmu Administrasi dan ke 228 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan.
Sebagai informasi, sidang promosi doktor Dr. Wajid ini diketuai oleh Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. dengan Promotor Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc. dan Co-Promotor Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ., serta para penguji yaitu Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA ; Dr. Ir. Dwi Untoro P. H., S.H., M.A.; Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M.Si.; Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si.; dan Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si.