Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA Universitas Indonesia bekerjasama dengan Singapore Management University, dan ITC Leiden menggelar Webinar Perjanjian Indonesia-Singapura Baru pada Selasa, 8 Maret 2022 pukul 13.00 – 16.00 WIB. Acara ini dipenuhi oleh orang hebat dan berpengalaman di bidangnya. Ialah Prof. Gunadi, Ak., M.Si. (Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia), Prof. Sum Yee Loong (Universitas Manajemen Singapura), Prof Kees van Raad (ITC Leiden), Ibu Melani Dewi Astuti (Analis Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Lembaga Kebijakan Fiskal Indonesia), Bapak Irving Aw (WTS Taxise Singapore), dan Bapak Iman Santoso (Mitra Partner Ernst and Young Indonesia)

Acara dimulai dengan sambutan dari Prof Gunadi. Prof Gunadi menyampaikan bahwa Singapura merupakan investor pendukung terbesar untuk Indonesia dimana lebih dari 30 persen investasi di tahun 2021 berasal dari Negara Singapura. Prof Gunadi menyampaikan bahwa Pembaruan Perjanjian Pajak antara Indonesia dan Singapura yakni tahun 2020 lebih sesuai dengan OECD, UN Model Tax, dan Implementasi PEPS dibandingkan dengan tahun 1990.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Prof Sum Yee Loong yang merupakan dosen dari Manajemen dari Singapura. Prof Yee Leong mengungkapkan bahwa sudah 32 tahun Indonesia dan Singapura menandatangani Perjanjian Pajak Berganda yang membuat Singapura dan Indonesia mampu meningkatkan GDP hingga hampir mencapai 7 kali lipat antara 1990 hingga 2021.

“Indonesia dan Singapura merupakan penemu dari ASEAN dan ASEAN mampu menjadi wilayah dengan pertumbuhan tercepat. Indonesia menjadi negara dengan ekonomi yang paling unggul di ASEAN dan juga menjadi negara yang paling banyak penduduk. Hal ini membuat banyak investasi berada di Indonesia. Kerjasama dan pembangunan bersama antara Indonesia dan Singapura akan menguntungkan kedua negara bahkan seluruh dunia,” ungkapnya.

Setelah itu, acara berlanjut dengan penyampaian materi dari Prof. Kees van Raad yang merupakan Profesor Hukum Internasional Pajak dari Universitas Leiden, Belanda. Prof Kees van Raad menyampaikan materi yang berjudul Perjanjian Pajak Indonesia-Singapura Dari Perspektif Kebijakan dan Teknis di Tahun 2020 dan 1990. Ia menyampaikan bahwa terdapat perbedaan antara perjanjian pajak di 1990 dan 2020 antara Indonesia dan Singapura. Dimana pada tahun 1990, terdapat banyak penyimpangan dari perjanjian Model OECD/UN. Sementara perjanjian pada tahun 2020 semakin sesuai dengan modal dan implementasi BEPS.

“Sayang sekali bahwa hanya ‘standar minimum’ BEPS yang dapat disetujui (pembatasan SG). Pendekatan pembatasan SG juga diambil oleh Swiss dan Luksemburg: bukan oleh aturan NL. BEPS tentang entitas Hibrida (Kemitraan) = Art. 1.2, dan pada PE=Art 5 akan sangat berguna untuk ID,” ungkapnya.

Prof Kees van Raad menyampaikan bahwa alasan penyimpangan dari model dalam praktiknya seringkali cacat karena beberapa faktor yakni untuk negara yang berpengalaman, ketentuan perjanjian yang dibuat sendiri sering tidak jelas atau cacat. Sementara untuk negara dengan pengalaman yang lebih sedikit memiliki risiko yang lebih besar untuk kesalahan dan ketidakkonsistenan, negosiator perjanjian belum tentu ahli perjanjian pajak yang benar, serta penyusunan undang-undang yang sering kali tidak memenuhi standar yang diterapkan pada undang-undang perundang-undangan domestik.

Pembicara kedua adalah Melani Dewi Astuti yang merupakan Analyst Pusat Kebijakan Penerimaan Negara, Lembaga Kebijakan Fiskal Indonesia. Ibu Melani menyampaikan materinya yang dimulai dengan menjelaskan latar belakang dari Perjanjian Pajak baru antara Singapura dan Indonesia.

“Terdapat beberapa latar belakang pembaharuan Perjanjian Pajak antara Indonesia dan Singapura. Yakni untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan; menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi, bisnis, dan perpajakan internasional saat ini; menyelaraskan dengan standar internasional dalam pertukaran informasi; serta memberikan kepastian yang lebih dan memasukkan langkah-langkah anti penghindaran,” jelasnya.

Terdapat perbedaan mendasar dalam pembaharuan perjanjian SIngapura dan Indonesia yakni perubahan pada Aturan Tie Breaker Individu; penurunan tarif BPT dan penghapusan klausul MFN, perubahan sehubungan dengan bunga yang dibayarkan atau diterima oleh pemerintah; pengurangan tarif pajak dalam royalti; pertambahan perpajakan atas keuntungan modal; penyertaan aturan belanja anti perjanjian; dimasukkannya artikel penyesuaian yang sesuai; dan adaptasi pertukaran standar informasi baru.

“Merujuk pada Artikel 4 Paragraf 2 yakni domisili fiskal untuk perorangan terdapat perbedaan pada Aturan Tie Breaker Individu dimana DTA yang lama hanya memiliki aturan tie breaker yakni rumah permanen, pusat kepentingan vital, dan tempat tinggal biasa. Sekarang, kita memiliki 1 tambahan tie breaker yakni nasionalisme,” jelas Melani.

Pembicara ketiga adalah Irving Aw yang merupakan Co-Founder, Principal, WTS Taxise. Irving menjelaskan mengenai Outbound Investment yakni dividen yang diantaranya adalah dikenakan ID WHT sebesar 10% (jika investor SG memiliki setidaknya 25% dari modal perusahaan ID) atau 15%, terlepas dari apakah dividen diterima di Singapura. Ini merupakan hal baru dalam perjanjian pajak antara Indonesia dengan Singapura.

“Jika karena alasan apapun dividen tidak dibebaskan dari pajak di Singapura, kredit pajak tidak akan memperhitungkan pajak badan yang mendasari yang dibayarkan oleh perusahaan ID kecuali sebelumnya ,berdasarkan bagian SOA ITA, persyaratan atau 25% modal saham harus dipenuhi. Namun saat ini, berdasarkan Pasal 232. (Penghapusan Pajak Berganda), persyaratan modal negara yang lebih rendah 10%,” jelasnya.

Irving menjelaskan bahwa terdapat hal baru dalam pendapatan nasional dalam pembaharuan Perjanjian Pajak Indonesia dengan singapura yakni terdapat aturan umum dimana ID memiliki hak pajak tunggal atas keuntungan modal dari pelepasan saham di perusahaan SG, untuk kasus khusus yakni perusahaan lebih dari 50% yang nilainya berasal dari real estat SG, SG memiliki hak pajak tunggal atas keuntungan jika penjual ID memiliki lebih banyak dari 50% pengecualian perusahaan dimana perusahaan menjalankan bisnis di real estate SG; atau reorganisasi, merger atau demerger.

Acara berlanjut dengan penyampaian dari Iman Santoso yang merupakan Tax Partner, Ernst and Young Indonesia. Iman Santoso menyampaikan materi berjudul Kunci Perubahan Signifikan dalam Perjanjian Pajak Berganda antara Indonesia dengan Singapura. Ia menjelaskan mengenai anti tax avoidance dimana Pasal 6 dari Instrumen Multilateral telah diadopsi di DTT Baru dengan menempatkan pembukaan yang berhubungan dengan tujuan perjanjian pajak tertutup sebagaimana ditentukan dalam MLI yakni Penghapusan Pajak Berganda sehubungan dengan pajak atas penghasilan tanpa menciptakan peluang untuk non-pajak atau pengurangan pajak melalui penghindaran atau penghindaran pajak.

“ Aturan kewarganegaraan Domisili Fiskal ditambahkan ke aturan tie breaker untuk menentukan domisili pajak. Selain itu terjadi penurunan tarif BPT (atas laba setelah pajak Bentuk Usaha Tetap) dari 15% menjadi 10%. Selanjutnya, Bunga Tidak ada perubahan tingkat WHT atas bunga yang masih 10 %. Juga, daftar lembaga pemerintah yang dibebaskan dari bunga WHT telah diperluas untuk memasukkan beberapa lembaga keuangan kuasi-pemerintah dan dana kekayaan negara dengan daftar khusus yang disediakan Selanjutnya, denda atas keterlambatan pembayaran tidak lagi dianggap sebagai bunga. Namun, pembebasan bunga WHT atas Surat Utang Negara dihapuskan, karena syarat-syarat dalam perjanjian yang baru juga mencakup bunga dari Surat Utang Negara/Utang,” jelasnya.

Selain itu, Iman Santoso menjelaskan bahwa terdapat pengurangan tarif WHT dari: 15% menjadi 10% atas pembayaran royalti dan berdasarkan Pasal 26 DTT baru sekarang mengikuti versi Konvensi Pajak Model OECD lebih luas dan tidak ada pengecualian. Selain itu, Iman Santoso menjelaskan di Capital Gains DTT menambahkan pasal khusus yang memberikan perlindungan pajak capital gain secara umum yang mengatur bahwa hak untuk memungut pajak “capital gans” akan terbatas pada yurisdiksi domisili penjual aset.

Acara ini berlangsung secara interaktif dan lancar. Beberapa peserta melayangkan pertanyaan kepada para pembicara. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai pentingnya sertifikat fisik dalam perjanjian pajak di Indonesia.
“Di Indonesia terdapat banyak sekali masalah mengenai KTP atau sertifikat domisili. Di Indonesia, jika nin-penduduk ingin mengklaim kredit pajak sesuai dengan perjanjian pajak, maka orang tersebut harus menunjukkan KTP atau sertifikat domisili. Jika tidak, harus mengikuti aturan domestik untuk membayar pajak pada umumnya 10 persen di Indonesia. Namun, jika suatu saat orang tersebut mampu menunjukkan sertifikat domisili atau COR, maka pajak tersebut dapat dikembalikan atau diubah,” jawab Melani.