Menyongsong puncak bonus demografi 2030 dan era Indonesia Emas 2045, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 20 April 2022 menandatangani pembentukan Badan Riset Inovasi Daerah atau Brida dengan Badan Riset Inovasi Nasional alias BRIN sebagai ibu kandungnya.

Ide mulia ini merupakan gagasan agar keinovasian daerah tidak semata ditumbuhkan dari pemerintah pusat. Bahkan, Presiden Jokowi pada 2020 mencoba mengubah paradigma berpikir membangun kota dari desa, seperti contoh gerakan saemaul undong (SU) di Korea Selatan.

Daya saing daerah

Replikasi gerakan semacam SU tidaklah mudah. Orkestrasi agar daerah-daerah bisa menghasilkan produk yang inovatif harus memiliki fondasi empat unsur utama. Pertama, aset yang berwujud (tangibles assets), seperti lahan, kondisi alam, kepemilikan modal, dan permesinan. Kedua, aset yang tidak berwujud (intangibles assets), seperti teknologi, branding daerah, tacit knowledge, dan networking.

Ketiga, human capital (sumber daya manusia) yang berotak dan berwatak mulia, pantang menyerah. Keempat, kepemilikan kearifan lokal yang ramah lingkungan menghargai ciptaan Tuhan dan terpelihara secara turun-temurun.

Berdasarkan pemetaan aset-aset tersebut, turunan keinovasian daerah baru dapat dikerucutkan. Dengan demikian, masing-masing daerah menghasilkan keinovasian yang distinct memiliki value proposition yang unik di setiap daerah.

Sementara ini baru ada tiga provinsi yang sudah membentuk Brida, yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah. Daerah-daerah lain, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masih dinantikan geliatnya untuk membangun Brida yang andal.

Platform VRIO

Pakar manajemen strategi aliran RBV (Resource Based View, 1988) dari Amerika, J Barney, membuat resep mujarab agar keinovasian yang dihasilkan oleh setiap daerah harus memiliki empat karakteristik atau dikenal dengan platform VRIO. Pertama, harus memiliki nilai yang tinggi dalam valuasinya (valuable). Kedua, aspek kelangkaan dan keunikannya (rare). Ketiga, aspek kesulitan untuk dijiplak (inimmitable), dan yang terakhir aspek pengorganisasiannya (organized).

Dengan penggunaan platform VRIO, diharapkan rumusan Brida akan menghasilkan program yang unik dari setiap daerah. Dengan kata lain, tuntunan dan arahan dari BRIN tidak menghasilkan output produk generic yang sama. Ide-ide inovatif harus dihasilkan oleh setiap daerah yang bekerja sama atau berkolaborasi menurut konsep aktor dan sistem pentahelix (akademisi, pemerintah daerah, pebisnis, komunitas, dan media lokal).

Dalam hal ini, BRIN harus berfungsi sebagai penyemangat, pemberi inspirasi, dan pengarah. Jangan berperan sebaliknya menjadi rules driver yang hanya memberi rambu-rambu yang kaku sehingga inovasi daerah sulit diwujudkan.

Dari OVOP, OTOP, Saka Sakti, hingga OVOI

Pemerintah Jepang pada 1980-an pernah mengampanyekan gagasan one village one product (OVOP) ke berbagai pemda di kawasan negara Asia. Program OVOP awalnya dirintis oleh Gubernur Oita Jepang, Morihiko Hiramatsu. Pada akhirnya, program OVOP disebarkan ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia pada 2008 yang dipelopori dan diwujudkan oleh Pemda Sidoarjo dan Lampung.

Beberapa negara Asia lainnya pernah diterapkan dengan istilah yang sedikit berbeda, seperti Thailand dengan nama one tambon one product (OTOP). Taiwan dengan konsep one town one product, Filipina dengan konsep one district one product. Hampir semua replikasi program OVOP ini gagal karena pendekatannya top down.

Belajar dari kegagalan tersebut muncul pendekatan baru, RBV, yang akhirnya dimodifikasi oleh penulis dengan sebutan Saka Sakti (Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti), kemudian akhirnya disesuaikan dengan konsep one village one innovation (OVOI). Pada 2019, pendekatan ini pernah diuji coba di Kabupaten Langgur, Maluku Tenggara, dan NTB.

Pada dasarnya program inovasi daerah (Brida) tidak mungkin dirinci kisi-kisinya secara detail oleh pemerintah pusat atau BRIN. Apalagi jika jumlah platform anggaran dan sumber daya manusia ditentukan jumlahnya secara generik dan terbatas.

Fondasi pijakan Brida harus terdesentralisasi, mulai dari knowledge acqusision atau outsourcing gagasan/ide Inovasi baik dari dalam maupun luar negeri. Maka, konsep ide inovasi awal melalui multisourcing bisa menghasilkan temuan inovatif buat daerah.

Bagaimana menggali keinovasian daerah apabila jumlah personel dibatasi hanya dari balitbang daerah, apalagi dengan plafon anggaran yang sangat terbatas. Maka, ide-ide Inovasi yang berlandaskan platform VRIO akan sulit diwujudkan.

Pebisnis start up, bahkan unicorn daerah, yang andal akan sulit diharapkan kehadirannya apabila daerah selalu dipagari dengan petunjuk pelaksanaan dan teknis yang sangat kaku dan tidak dinamis.

Contoh sukses

Sebut saja contoh sukses Pemerintah Kota Madiun yang menghasilkan tanaman porang rintisan seorang pemulung bernama Paidi. Akhirnya go international ke Jepang dan Cina, produk olahan porang dijadikan sebagai bahan makanan dan kosmetika. Dengan temuan inovasi tanaman porang pada akhirnya bisa membuat petani-petani Desa Kepel, Madiun, berjaya dan kaya raya. Bahkan, saat ini sudah terbangun PT Paidi Indo Porang sebagai perusahaan rintisan eksportir asal Madiun.

Demikian pula cerita sukses komoditas belatung lalat hitam (black soldier fly) yang dibudidayakan dan dikeringkan sebagai bahan pakan ternak ikan dan hewan yang sudah di ekspor ke Belanda, Inggris, dan Amerika. Contoh lain yang tidak kalah penting adalah buah manggis rintisan ekspor ke Amerika, produk daerah yang berbasis rotan, obat herbal buah merah, rumput laut, serta produk-produk laut lainnya, seperti bulu babi (sea urchin, echinoidea) atau landak laut.

Masih banyak lagi contoh sukses dari daerah yang apabila diberi sentuhan inovatif, baik dari proses sentuhan teknologi maupun proses hingga kemasan dan branding-nya, tidak mustahil program Brida bisa menghasilkan inovasi daerah yang berpijak pada platform VRIO.

Paling tidak terdapat empat pekerjaan rumah besar dalam mempersiapkan Brida yang tangguh. Pertama, pemetaan kompetensi inti secara saksama, mulai dari pendataan kepemilikan aset yang berwujud secara rinci. Kedua, identifikasi aset yang tak berwujud, seperti kepemilikan teknologi dan ketenaran nama daerah (branding).

Ketiga, pendalaman aspek manusia di daerah yang siap dikapitalisasi, termasuk pemeliharaan kearifan lokalnya. Keempat, membuat strategic routing core competencies sehingga dapat membuahkan produk turunan yang memiliki platform VRIO. Semoga BRIN mampu melahirkan Brida yang tidak sungsang.

Martani Huseini, Guru Besar FIA-UI; Ketua CIGO-FIA-UI
dimuat dalam harian Kompas