Fragmentasi proses pemerintahan di dalam menghasilkan dokumen perencanaan dan adaptasinya terhadap kompleksitas, diversitas dan dinamika di dalam masyarakat di dalam proses penganggaran menjadi sebuah permasalahan yang terus dihadapi oleh Pemerintah Republik Indonesia bahkan sejak masa reformasi hingga saat ini. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan berbagai usaha melalui peraturan pemerintah untuk menyelesaikan masalah fragmentasi tersebut.

“Pasalnya persoalan fragmentasi ini membawa beberapa dampak signifikan diantaranya adalah dapat dilihat dalam fakta yang disampaikan oleh Bappenas (2013) bahwa ada deviasi rata-rata 29,4% antara RKP dengan RKAKL atau tidak terpetakan kembali apa yang ada di RKP dengan RKAKL. Deviasi ini akan memperburuk kualitas perencanaan dan penganggaran di daerah,” kata Suhartono.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Promovendus Suhartono.,S.IP.,M.PP pada sidang promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Kamis (5/01/2023) pagi di Auditorium Edisi 2020 FIA UI dengan judul disertasi Tata Kelola Proses Perencanaan dan Penganggaran di Pemerintah Pusat (2015-2017): Tinjauan Interaksi Aktor dan Lembaga.

Promovendus menyatakan bahwa perlu adanya peninjauan kembali terhadap tata kelola proses perencanaan dan penganggaran agar dapat direkonstruksi ulang. Dalam penelitiannya, Suhartono menggunakan konsep governance yang dikembangkan oleh Koiman (1993) dalam melihat tata kelola hasil interaksi antara aktor dan lembaga yang terlibat membentuk dan memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing.

“Sebuah tata kelola dikatakan gagal ketika tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan publik yang membutuhkan kewenangan, tugas dan tanggung jawab pemerintahan. Proses pelaksanaan pemerintahan akan melahirkan tata kelola  dan kapasitas dari tata kelola itu sendiri. Kapasitas ini diuji kembali apakah mampu menyelesaikan atau menemukan solusi atas persoalan publik yang terus berkembang akibat adanya kompleksitas, dinamika dan perbedaan di tengah masyarakat,” kata Suhartono menambahkan.

Penelitian Suhartono menunjukkan hasil bahwa faktor penyebab fragmentasi pada tata kelola proses perencanaan dan penganggaran bersumber pada perbedaan orientasi antara  UU 17/2003 dan UU 25/2004.  UU 17/2003 berorientasi penuh alur reformasi manajemen keuangan negara agar disiplin pada keterbatasan fiskal dan memperkuat pengendalian dan pertanggungjawaban keuangan. Sedangkan UU 25/2004 berorientasi menjaga kesinambungan pembangunan dengan tidak adanya GBHN dalam konstitusi hasil amandemen.

“Hasil penelitian kedua menunjukkan faktor-faktor determinan dari keterpisahan pengaturan dari aspek lingkungan, orientasi dan proses. Dari ketiga aspek tersebut, aspek lingkungan berupa rivalitas kelembagaan antara Bappenas dan Kemenkeu lebih berperan mendorong terjadinya pemisahan, dibanding dengan pengaruh eksternal lembaga internasional yang mendorong integrasi keduanya,” ungkapnya.

Hasil penelitian ketiga berangkat dari interaksi antara eksekutif-legislatif  dan interaksi eksekutif-legislatif dan masyarakat dalam perspektif akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Hubungan transparansi dan akuntabilitas hanya terjadi dalam kontek eksekutif dan legislatif, namun kurang pada masyarakat. Hal ini menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran lebih lemah dari praktek beberapa negara di kawasan. Kondisi ini mendukung pola-pola interaksi yang distortif terhadap anggaran publik yang seharusnya menempatkan prioritas alokasi pada pelayanan atau produk barang publik diatas kepentingan kelompok atau pribadi para pengambil kebijakan yang terlibat.

Melalui hasil penelitian tersebut, Promovendus memberikan rekomendasi yakni integrasi proses perencanaan dan penganggaran secara fundamental dengan merevisi UU17/2003 dan 25/2004 ke dalam satu UU tanpa harus menghidupkan kembali GBHN dalam konstitusi, sehingga fungsi perencanaan dan penganggaran bisa disatukan dalam satu proses dan kendali satu institusi untuk menekan deviasi dan distorsi. Alternatif moderat dengan tetap mempertahankan status quo, tetapi diintegrasikan melalui pemanfaatan sistem informasi yang terintegrasi antara Bappenas dan Kemenkeu. Alternatif lainnya dengan mengfungsikan kantor staf presiden mengendalikan deviasi sebagai bagian dari mendukung tugas dan kekuasaan kepresidenan.

“Rekomendasi kedua yaitu peningkatan kualitas transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dilakukan dengan mentransformasikan penyajian informasi rencana anggaran dari line item ke performance agar proses pembahasan lebih akuntabel, mendorong transparansi sebagai bagian dari strategi organisasi publik agar mendapat dukungan publik yang luas kepada program dan rencana kerja mereka dalam melayani masyarakat, sedangkan partisipasi membutuhkan penguatan literasi anggaran dan dukungan masyarakat akademik kepada fungsi LSM sebagai penggerak partisipasi publik pada isu-isu publik terkait anggaran,” kata Suhartono menutup pembacaan ringkasan hasil disertasinya.

Melalui Sidang Promosi Doktor FIA UI ini, Suhartono.,S.IP.,M.PP berhasil menjadi lulusan Program Doktor FIA UI ke-25 dan Lulusan ke-213, S3 Ilmu Administrasi dengan Promotor yaitu Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc. dan Kopromotor Dr. Umanto, M.Si.