Draf RUU Perubahan Kelima UU Pemda disusun menggeser paradigma prefektur terintegrasi agar sesuai karakter Indonesia.

Saat ini, Komite I Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI sedang menyiapkan RUU Perubahan Kelima atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Niat ini juga disambut positif oleh pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dengan menyampaikan Pokok-pokok Perubahan UU tersebut. Mengubah UU Pemda hampir identik dengan melakukan reformasi pada sekujur tubuh kelembagaan birokrasi pemerintahan RI.

Perubahan yang digagas DPD ini diwujudkan melalui revisi minor. Meskipun revisi minor, di tengah menghadapi perhelatan pilkada langsung serentak, tentu ini dapat menguras tenaga dan pikiran bangsa Indonesia.

Menariknya, dalam RUU tersebut terdapat perubahan paradigmatik yang perlu dicermati oleh bangsa Indonesia karena kelak berpengaruh signifikan terhadap tata kelola kelembagaan pemerintahan RI.

Pergeseran paradigma

Di dunia ini, sampai hari ini hanya ada dua tipikal pemerintahan daerah, yakni yang berkiblat pada sistem fungsional (mazhab anglo-saxon), dan berkiblat pada sistem prefektur (mazhab ero-kontinental) (Fired: 1963, Leemans: 1970).

Sistem fungsional adalah sistem tanpa wakil pemerintah dan sistem prefektur adalah sistem dengan wakil pemerintah di daerah. Sistem prefektur terpecah jadi dua, prefektur terintegrasi dan tak terintegrasi.

Sistem prefektur terintegrasi mengenal dua pertalian. Pertama, wilayah kerja wakil pemerintah berimpit dengan yurisdiksi daerah otonom. Kedua, penjabat wakil pemerintah (acap kali disebut sebagai prefek) juga berperan sebagai kepala daerah otonom. Terjadi dual role (peran ganda) pada penjabat wakil pemerintah yang sekaligus sebagai kepala daerah.

Untuk sistem prefektur tak terintegrasi, meskipun wilayah kerja wakil pemerintah dapat berimpit atau tidak berimpit dengan yurisdiksi daerah otonom, ciri utamanya adalah penjabat wakil pemerintah adalah orang yang berbeda dari penjabat kepala daerah. Tidak terjadi dual role di dalam sistem prefektur tak terintegrasi ini.

Berabad lamanya sejak pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di seantero Nusantara, tipikal pemerintahan daerah kita mengacu pada sistem prefektur terintegrasi (Legge: 1955, Fried: 1964, PJM Nas: 1983, Hoessein: 1993, Smith: 1985, Maksum: 2022).

Sistem ini dianggap cocok oleh pemerintah kolonial dalam rangka pengawasan top-down dan bersifat sentralistik untuk kepentingan kolonialisme. Meski demikian, oleh para Bapak Pendiri Bangsa, kecuali di masa UU Nomor 1 Tahun 1957, terus dipertahankan hingga saat ini di masa UU Nomor 23 Tahun 2014.

Sistem ini membuat stres kepala daerah secara politik karena sering kali berbeda aspirasi dengan pemerintah pusat meski hanya soal teknis-administratif yang amat kecil. Sistem ini juga berpotensi mencederai otonomi daerah (otda) karena baik saluran politis maupun teknis bisa masuk ke area otda.

Era demokrasi multipartai dan pilkada langsung juga menjadikan sistem ini rawan politisasi. Politisasi nasional dan lokal membuat jalannya pemerintahan daerah sering terganggu. Meski demikian, sistem ini bisa menjadi saluran akses, baik pusat maupun daerah, agar pemerintahan berjalan efektif di negara kepulauan yang amat heterogen dan bervariasi.

Dengan demikian, ke depan, sistem prefektur dipertahankan dengan tidak perlu membenturkan kepentingan daerah dan pusat yang disharmonis.

Sistem ini adalah sandaran untuk mencapai standardisasi nasional tanpa melukai ruang otda. Idealnya, pusat dapat masuk ke daerah-daerah sesuai tanggung jawabnya untuk memastikan otda berjalan efektif. Daerah juga dapat memanfaatkannya untuk jalan akses ke pusat terkait sejumlah kebijakan yang perlu diselaraskan dengan kepentingan daerah.

Dengan demikian, ke depan, sistem prefektur dipertahankan dengan tidak perlu membenturkan kepentingan daerah dan pusat yang disharmonis. Sistem ini harus diarahkan kepada ruang untuk mencari solusi efektivitas pemerintahan. Kelak, kita perlu bergeser dari sistem prefektur terintegrasi ke sistem prefektur tak terintegrasi di mana wakil pemerintah/prefek tetap ada, tetapi tak lagi di pundak seorang kepala daerah yang kini ada di gubernur.

Desain perubahan

Dalam sistem prefektur tak terintegrasi terjadi proses politik lokal yang lebih genuine. Kepala daerah tak diembel-embeli sebagai prefek. Proses pilkada langsung tak lagi harus merisaukan pemerintah pusat ataupun pemda. Kepentingan pusat, sepanjang terkait efektivitas pemerintahan, dapat disalurkan melalui prefek yang dijabat oleh unsur lain, bukan di kepala daerah lagi.

Untuk kasus Indonesia di mana prefek dijabat gubernur, gubernur yang hanya berperan sebagai kepala daerah kelak juga ruangnya menjadi lebih longgar dari kepentingan pusat.

Pengawasan kepada kabupaten/kota dilakukan prefek, bukan oleh gubernur lagi. Namun, elemen kabupaten/kota tetap harus selaras dengan kepentingan provinsi di atasnya karena semua dikontrol, baik melalui prefek maupun oleh provinsi dengan tugas pembantuan.

Provinsi yang dikendalikan gubernur menjadi lebih fokus dan tak terpecah lagi anggaran ataupun kegiatannya. Aspek politis ini berimbas pada aspek organisasional teknis berikutnya yang menjadikan provinsi lebih tajam dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang jadi tanggung jawabnya.

Di tingkat kabupaten/kota pun demikian. Jaminan akses daerah ke pemerintah pusat juga menjadi lebih terang benderang melalui satu instansi yang fokus pekerjaannya, yakni penjabat prefek yang tak ditugasi lagi sebagai organ daerah otonom. Prefek merupakan the president’s man di wilayah.

Kedudukannya lebih tinggi dari instansi vertikal, baik sipil maupun militer di wilayahnya, sehingga kelak dapat menjadi pengawas sekaligus ”penolong” elemen daerah otonom jika terdapat kasus keberatan atas kebijakan instansi vertikal terkait daerah otonom di tempatnya.

Draf RUU Perubahan Kelima UU Pemda disusun serius menggeser paradigma prefektur terintegrasi menuju tak terintegrasi, sesuai karakter Indonesia dan karakter kekinian.

Selain ihwal paradigmatik, ihwal teknis terkait hubungan DPRD dan kepala daerah juga dirumuskan ulang di draf RUU ini. Pengawasan terkait produk hukum daerah juga disentuh kembali.

Demikian juga berbagai hal teknis lain yang cukup penting menentukan jalannya pemerintahan daerah agar lebih efektif dan fokus—seperti soal ASN daerah—sehingga diharapkan otda dan pemerintahan NKRI mampu mewujudkan cita-citanya dengan baik. Semoga.

Irfan Ridwan Maksum-Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik UI dan TA-RUU Pemerintahan Daerah DPD-RI

Sumber: Kompas.com