Pertemuan pimpinan Otorita IKN dan pimpinan KPK perlu disambut positif. Tujuannya, agar pembangunan ibu kota negara bebas korupsi dan mampu terwujud kota yang bersih secara tata kelola kelembagaan dan juga fisik kota yang betul-betul bersih.

Pertemuan ini adalah upaya bangsa membangun budaya antikorupsi di pusat pemerintahan yang diharapkan jadi role model semua sektor, lini, dan tingkatan pemerintahan di Indonesia.

Potensi melekat

Terhitung dengan mudah dari sudut (hukum) administrasi negara, potensi korupsi dalam gerak pengelolaan keuangan oleh lembaga Otorita IKN. Sejak awal UU IKN mendesain otorita adalah pemerintahan daerah khusus yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri tanpa adanya lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal (Pasal 5 Ayat 4 dan Pasal 4 Ayat 1 huruf b). Pejabat itu juga diangkat langsung oleh Presiden (Pasal 5 Ayat 4).

Disebutkan bahwa otorita dapat mengatur dan mengurus urusannya sendiri (Pasal 5 Ayat 2 dan Ayat 6). Ini kunci dari perspektif (hukum) administrasi negara. Pasal-pasal ini terkait governance yang dikembangkan, tercipta, dan berjalan dalam kelembagaan IKN, termasuk dalam penggunaan keuangan publik dalam pembangunan IKN.

Dari sudut ini, otorita harus mampu merumuskan pengaturan penggunaan keuangan publik dalam kelembagaan IKN sendiri. Terdapat anomali (hukum) administrasi negara di sini.

Hak mengatur sendiri dalam lembaga IKN ini sumber anomali pertama. Lembaga semacam otorita yang tak memiliki organ yang terhitung sebagai lembaga politik dibekali wewenang mengatur adalah sesuatu yang tak lazim. Dinyatakan sebagai lembaga setingkat menteri, tetapi wilayah kekuasaannya hanya menyangkut beberapa jengkal dalam wilayah sebuah provinsi di sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia, adalah anomali kedua.

Walau dinyatakan dalam UU sebagai setingkat menteri, bagaimana kelembagaan ini melakukan pengaturan untuk dirinya sendiri, ditetapkan oleh pucuk pimpinan, kemudian menjadi dasar aturannya sendiri tanpa lembaga semacam dewan—apakah menjadi governance yang dapat dijamin kepada good governance karena ”jeruk makan jeruk”— dapat mudah terjadi. Tentu vested interest sangat terbuka lebar.

Kedua anomali ini adalah akibat dari tak dibacanya dengan baik makna UUD Pasal 18 dan 18B yang jadi acuan UU ini. Jika betul-betul menginginkan menjadi otorita, tak mungkin dinyatakan sebagai setingkat menteri, karena cakupan wilayah kekuasaan yang jadi domain kerjanya. Jika serius, perlu dibentuk sebuah dewan otorita atau kementerian urusan Otorita IKN di tingkat nasional sebagai pengaturnya, yang nantinya otorita di lapangan hanya sebagai pelaksana (pengurus). Otorita tanpa otonomi dan bersifat administratif ini sejatinya hanya memiliki wewenang mengurus.

Pengaturan sendiri yang diberikan oleh UU IKN, yang mengandung anomali-anomali itu, juga rawan penyalahgunaan kekuasaan. Tentu KPK akan menghitung, mengkaji, dan mengaudit apakah terdapat pengaturan yang dibuat oleh pimpinan otorita IKN dalam menjalankan/mengurus seluruh aspek pembangunan IKN.

impinan otorita IKN tak dapat serta-merta langsung melaksanakan berbagai UU terkait keuangan negara dan lain-lain, tanpa diturunkan menjadi produk pengaturan untuk dirinya sendiri. Pengurusan tak dapat langsung otomatis oleh lembaga birokrasi IKN yang nanti akan bekerja. Pimpinan otorita IKN harus mengeluarkan sejumlah dokumen regulasi IKN, termasuk dalam soal penggunaan keuangan publik untuk kepentingan pembangunan IKN.

Efek anomali

Anomali di atas berlanjut ke konsistensi produk pengaturan yang ditetapkan pimpinan Otorita IKN terhadap semua produk hukum di tingkat nasional. Seperti halnya pemerintahan administratif, selayaknya hanya melaksanakan saja semua berjalan di wilayah IKN.

Tetapi, persoalan pertama yang dihadapi IKN, dengan sebutan setingkat menteri, adalah ego sektoral. Ini tantangan tak sepele. Jalan yang mudah ditempuh akan menjadikan semua produk pengaturannya dikembalikan kepada Presiden sebagai pengatur utama IKN sejak ditetapkannya UU IKN.

Andaikan UU IKN dikembangkan konsisten dengan UUD Pasal 18 dan 18B, tentu memudahkan pimpinan Otorita IKN dalam menggerakkan roda pemerintahannya. Acuan yang dijalankan juga sudah terbantu oleh sekian banyaknya regulasi yang dikeluarkan Kemendagri. Tetapi, UU IKN memiliki gaya pemerintahan daerah khusus berbasis tipikal wilayah administratif belaka, yang tak mengikuti aturan-aturan dari Kemendagri. Jadi, tak menghadapi masalah ego sektoral.

Pada kondisi yang ada, menurut UU IKN, pimpinan otorita akan menjadikan Presiden sebagai sandaran untuk merumuskan produk pengaturan. Lembaga dengan wilayah beberapa jengkal dalam sebuah provinsi di Indonesia diatur semua oleh Presiden. Ini anomali ketiga yang menandakan adanya ketidakadilan baru dalam tata kelola negara-bangsa Indonesia.

Pengembangan produk pengaturan ini tentu dalam praktiknya akan mengandalkan kekuatan usul dari internal lembaga IKN yang dikomandani sendiri oleh pimpinan otorita. Sebetulnya tetap terjadi ”jeruk makan jeruk”, dan ini harus diperhatikan oleh KPK.

Dalam pengelolaan keuangan negara, tampaknya sumber pembangunan IKN akan berasal dari sumber sendiri (APBN) dan sumber kerja sama dari pihak lain (outsourcing). Dalam hal pengaturan penggunaan berbagai sumber pendanaan, tampaknya sudah dapat dikatakan bahwa regulasi nasional yang ada lengkap dan bisa jadi acuan, baik oleh KPK maupun Otorita IKN sendiri, untuk memperhatikannya. Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah konsistensi pengaturan yang akan ditetapkan oleh Presiden atau pimpinan otorita sendiri.

Dalam matra pengurusan lebih detail lagi, apakah terjadi politik uang, apakah terjadi suap, apakah terjadi vested interest, dan hal detail lain yang tampak mudah terbaca. Laporan kekayaan pimpinan Otorita IKN juga jadi perhatian KPK dan masyarakat. Sampai ditunjuk menjadi pimpinan Otorita IKN, tampaknya masih tergolong zuhud. Perkembangan berikutnya jadi pantauan serius semua pihak.

Pertemuan pimpinan Otorita IKN dan pimpinan KPK diharapkan mampu atasi kesulitan-kesulitan di atas. Semoga.

oleh Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik; Sekretaris Dewan Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

dimuat dalam Harian Kompas