Di banyak kota besar Indonesia, waktu adalah barang mewah yang terus tergerus oleh kemacetan. Jutaan warga terperangkap dalam absolute traffic. Yaitu suatu istilah yang menurut Doreen Lee (2015) dalam Absolute traffic: infrastructural aptitude in urban Indonesia berupa kondisi lalu lintas yang cukup menyesakkan, baik secara fisik maupun psikis.

Beberapa waktu lalu kita disuguhkan dengan antrean truk yang mengular di Pelabuhan Tanjung Priok hingga menimbulkan kerugian yang diperkirakan sebesar Rp120 miliar hanya dalam dua hari. Dengan gamblang kita melihat betapa rapuhnya arsitektur mobilitas nasional yang seharusnya menopang produktivitas dan logistik strategis negara.

Warga kehilangan waktu, energi, dan produktivitas hanya untuk berpindah tempat. Karenanya, selain urusan teknis, transportasi menjadi isu kelembagaan yang perlu intervensi pemerintah, termasuk dari aspek kebijakan fiskal yang berpandangan jauh ke depan.

Hari Angkutan Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 April perlu menjadi momentum penting bagi kita dengan meninjau ulang komitmen negara dalam mengurai masalah transportasi. Kita akui pemerintah memang telah berinvestasi dalam infrastruktur fisik seperti jalan tol, jembatan, dan bandara. Namun, problem konektivitas tidak akan selesai dengan sekadar memperbanyak infrastruktur fisik.

Seperti diingatkan oleh Henry Sandee (2016) dalam Improving connectivity in Indonesia, tantangan utama Indonesia sebagai negara kepulauan bukan soal pembangunan infrastruktur fisik semata. Kita juga dihadapkan dengan persoalan koordinasi, regulasi, dan terutama tata kelola.

Inefisiensi

Secara makro, inefisiensi dalam sistem angkutan berkontribusi signifikan pada biaya logistik nasional yang tinggi. World Bank mencatat biaya transportasi kita mencapai 23 persen dari PDB, jauh di atas rata-rata ASEAN. Selain membebani pelaku usaha, biaya tersebut juga menurunkan daya saing produk domestik.

Dalam konteks fiskal, kita menghadapi situasi penuh ironi. Alih-alih memperkuat angkutan umum dan efisiensi mobilitas, negara menggelontorkan dana besar untuk subsidi energi. Akibatnya, orang mendapat insentif menggunakan kendaraan pribadi. Akhirnya, jalanan semakin padat, kemacetan tak terelakkan.

Studi oleh Paul J. Burke dan kolega (2017) berjudul Easing the traffic: The effects of Indonesia’s fuel subsidy reforms on toll-road travel menunjukkan bagaimana instrumen fiskal bisa mengubah perilaku perjalanan dan memperbaiki problem lalu lintas secara nyata. Reformasi subsidi BBM yang dilakukan Indonesia pada 2013–2014 berhasil menurunkan volume kendaraan hingga 10 persen pada tahun 2015. Artinya, kebijakan harga BBM yang lebih realistis (tidak disubsidi besar-besaran) mampu mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Dari sisi publik, tuntutan akan transportasi umum yang lebih mudah diakses jadi kian kentara. Data BPS per September 2024 mencatat bahwa secara tahunan, jumlah penumpang kereta api meningkat 14,28 persen dan volume barang naik 9,39 persen. Lonjakan ini mengindikasikan membaiknya kepercayaan publik terhadap moda transportasi berbasis rel tersebut.

Sayangnya, kapasitas kereta api masih terbatas, sementara investasi untuk jaringan baru seperti LRT dan MRT belum menjangkau wilayah penyangga dan kota sekunder yang memiliki kebutuhan serupa. Artinya, kebijakan fiskal untuk angkutan nasional masih terlalu terpusat dan belum berpihak pada pemerataan akses.

Intensif fiskal

Sementara itu, angkutan laut yang seharusnya menjadi tulang punggung konektivitas antar pulau, justru masih kalah menarik dibandingkan moda udara. Padahal, untuk angkutan barang, moda laut jauh lebih efisien dari sisi biaya.

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah barang yang diangkut melalui angkutan laut selama Januari–September 2024 hanya meningkat 0,04 persen, jauh lebih kecil dibanding pertumbuhan pada kereta api. Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem logistik laut kita belum mendapat perhatian memadai. Perlu kiranya pemberian insentif fiskal bagi operator kapal kargo domestik atau subsidi untuk rute-rute logistik yang strategis.

Kebijakan fiskal bisa menjadi tulang punggung perubahan dalam menjadikan angkutan nasional sebagai instrumen produktivitas dan kesetaraan spasial. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal tersebut. Pertama, dibutuhkan reformulasi anggaran transportasi untuk memperbesar alokasi pada moda berbasis rel dan laut.

Kedua, kebijakan fiskal berbasis insentif perlu diarahkan agar bisa mendorong penggunaan angkutan umum dan kendaraan rendah emisi. Misalnya, melalui tax holiday untuk operator angkutan umum dan pembebasan PPN untuk pembelian armada listrik.

Ketiga, penetapan kebijakan pungutan kemacetan (congestion charges) di pusat kota, dengan syarat pendapatan dari kebijakan tersebut dikembalikan langsung untuk peningkatan layanan transportasi publik. Kebijakan tersebut telah berhasil diterapkan di Singapura dan London, dan bukan tidak mungkin diterapkan di kota-kota besar kita seperti Jakarta atau Bandung, asalkan didukung sistem yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Keempat, perlu dikembangkan model anggaran berbasis hasil (performance-based budgeting) untuk sektor transportasi. Artinya, alokasi fiskal harus disematkan pada indikator yang terukur, misal pengurangan waktu tempuh, peningkatan jumlah penumpang angkutan umum, hingga penurunan emisi CO₂.

Tanpa aksi nyata, jutaan orang setiap harinya akan terus kehilangan kesempatan hanya karena sistem transportasi kita yang juga macet dalam hal transformasi. Anak terlambat sekolah, pekerja stres di jalan, pedagang rugi karena logistik tersendat, akan menjadi pewajaran.

Adalah tugas negara menghadirkan transportasi publik yang layak, terjangkau, tepat guna, dan terhubung hingga pelosok. Semoga instrumen fiskal bisa dijadikan bahan bakar bagi perubahan tersebut.

Oleh: Ismail Khozen, S.I.A., M.A., Dosen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.

Sumber Instrumen Fiskal untuk Angkutan Nasional