Dilema Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

(Sinopsis Tulisan)

Ditengah terpaan badai wabah COVID19 yang mengguncang dunia, gagasan mulia pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus ( KEK), sejatinya dapat menjadi peredamnya.

Dilema  Pengembangan KEK

Sayangnya kelimabelas KEK yang telah ditetapkan di era pemerintahan Presiden SBY dua periode hingga era pemerintahan Presiden Joko Widodo belum menunjukkan geliat keberhasilan yang menggembirakan. Apalagi ditengah musibah pandemik global Covid19. Upaya reevaluasi dan mitigasi penyelamatan program-program yang sudah terjadwal nyaris terggangu, seperti rencana ‘launching’ perdana penyelenggaraan MOTOGP Internasional dikawasan wisata KEK Mandalika yang semestinya tahun depan harus siap dioperasionalkan agar dapat menaikkan  citra Mandalika nyaris terpinggirkan skala prioritasnya.

Dari hasil kajian lapangan sementara oleh tim CIGO-UI (belum dipublikasi) hingga akhir tahun 2019, di lima wilayah KEK (Batam-Bintan, Mandalika-NTB, Singhasari-Malang, Morotai-Maluku Utara dan Sorong-Papua Barat) masih belum terlihat geliat kemajuannya.

Peta sebaran kawasan KEK, sejatinya telah dipikirkan secara ‘Ideal dan strategis’ oleh Pemerintah Pusat berdasarkan usulan dari masing-masing Pemerintah Daerah beserta pihak Pelaku Bisnis terakait. Namun ‘updating’ atas peta persaingan global dan kemampuan para pihak yang terkait di masing-masing KEK agak terabaikan karena aspek jeratan tata kelola birokrasi yang kaku dan kurang lincah.

Dari limabelas KEK yang ada, sudah sebelas telah dinyatakan beroperasi. Hanya empat KEK Lhokseumawe Aceh, Kendal-Jateng, Singhasari-Malang dan Likupang Minahasa Utara, dinyatakan belum beroperasi.

Tidak ada salahnya, tragedi wabah COVID 19 dijadikan peringatan penting untuk mengkaji ulang beberapa aspek kunci sukses yang perlu diperhatikan kembali. Pertama aspek Governansi (People, Process dan Leverage) termasuk tatakelola kepemerintahan dari tingkat Pusat hingga tingkat kabupaten/kota apakah  sudah harmonis ?

Kedua apakah Pengembangan industri terpilih di KEK (Core Product/Service) sudah didasarkan pada kepemilikan  Kompetensi Inti (Core Competency)   yang dimiliki, seperti ketersediaan bahan pendukung, infrastruktur, SDM dan kepemilikan teknologi yang relevan?

Ketiga apakah bangunan ‘Ecosystems’ (Aktor dan faktor terpilih) dapat mendukung  memunculkan temuan-temuan produk hilir yang baru?

Keempat, aspek yang tidak kalah pentingnya adalah apakah penyelarasan antara input dan output industri sudah dipadukan dengan Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) yang ada ?

Kelima apakah antisipasi terhadan rangkaian Mata Rantai Nilai Global intra- KEK nasional dan antar KEK dikawasan ASEAN supaya terjadi adanya ‘Coopetitive-modelling’.

Keenam tentang aspek yang sering terlupakan yakni  tentang Kearifan Lokal dan Budaya  masyarakat setempat, sehingga dapat mengganggu kegiatan operasionalnya.

eandainya lebih dari separuh dari kunci-kunci sukses yang harus diperhatikan tidak dapat dipenuhi, maka mau tidak mau pemerintah harus membuatkan panduan rinci tentang EXIT STRATEGY-nya masing-masing KEK.

 

Martani Huseini

(GB-FIA-UI) dan Ketua Center for Innovative Governance (CIGO)

Tulisan lengkap dimuat dalam harian Kompas