Tulisan di rubrik Inovasi Bisnis (harian Kompas, 27 Mei 2022) tentang ide empat hari kerja sungguh menarik untuk diperbincangkan. Beberapa negara telah melakukan uji coba dan berhasil.

Kebijakan empat hari kerja (EHK) dalam sepekan telah diterapkan di Belgia sejak Maret 2022. Demikian juga beberapa contoh yang diungkap seperti perusahaan swasta Microsoft di Jepang, perusahaan kamera Canon di Inggris, perusahaan global Unilever di Selandia Baru, serta masih banyak perusahaan multinasional lainnya.

Semua perusahaan yang telah menerapkan kebijakan EHK tanpa ada pemotongan gaji. Namun, beban kerja masih sesuai dengan kebijakan 40 jam kerja dalam seminggu. Jam kerja akan diubah menjadi 9,5 per hari dengan masa libur yang lebih panjang menjadi tiga hari.

Beberapa pertanyaan penting dari pemikiran inovasi bisnis terkait dengan kebijakan EHK ini. Pertama, apakah EHK diterapkan semenjak ada pengalaman wabah pandemi (sehingga dikenal beberapa istilah WFH (work from home), blended working system secara daring dan luring) sehingga memberikan buah pemikiran baru atas kebijakan EHK. Kedua, apakah EHK hanya bisa diterapkan pada negara-negara yang berpenduduk relatif kecil (kurang dari 100 juta)? Ketiga, apakah penerapan EHK hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang memiliki sistem kerja yang reguler dan masyarakat yang memiliki disiplin tinggi?

Keempat, apakah perusahaan yang menerapkan EHK hanya di sektor nonpangan, atau produk barang mewah? Kelima, apakah EHK ini bisa diterapkan di sektor jasa termasuk di sektor kesehatan, kesenian, keolahragaan, dan pemerintahan? Keenam, apakah mata-rantai nilai bisnis dan sistem logistiknya hingga ke konsumen sudah dapat dijamin?

Polemik EHK
Kebijakan penerapan EHK ini menimbulkan polemik karena di beberapa negara yang memiliki daya saing tinggi seperti China justru menerapkan tujuh hari kerja (THK) dalam sepekan, padahal sudah dibantu dengan penggunaan robot dan penerapan sistem digital seperti artificial intelligence, big data, dan lain sebagainya. Demikian pula Korea Selatan yang tidak menerapkan THK. Dasar pemikiran EHK mempertimbangkan aspek beban kerja dan kapasitas kerja untuk keluaran berupa produktivitas.

Di pihak lain, yang mendukung penerapan EHK memiliki argumentasi bahwa jika kegiatan masyarakat bisa direduksi tanpa mengganggu keteraturan dalam masalah rantai pasok dan rantai nilai sehingga merupakan impian yang ideal apabila masyarakat dapat memilih program EHK dalam seminggu. Hasilnya tentu akan berdampak positif terhadap intensitas pertemuan dengan keluarga yang semakin membaik, Indeks Kebahagiaan Keluarga (IKK) akan meningkat, serta penguatan program pembelajaran sistem daring dan luring semakin efektif.

Pemulihan proses pembelajaran pada anak-anak yang terdampak disrupsi wabah pandemi Covid-19 dapat terobati karena interaksi orangtua dengan anak diharapkan dapat lebih intens. Impak positif yang lain dalam penerapan EHK dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, serta pengeluaran belanja keluarga akan lebih efisien.

Pergerakan manusia juga dapat direduksi berkat adopsi teknologi berbasis digital dan metaverse. Jika dahulu pengiriman uang, surat, dan barang, si pengirim harus datang ke kantor pos, kantor perbankan, dengan adanya sistem e-mail, mobile banking, dan aplikasi sistem online (daring) lainnya, transaksi dengan platform dan ekosistem digital bisa mengefisienkan gerak dan waktu mobilitas manusia.

Fondasi peradaban baru
Namun, meniru kebijakan EHK yang telah dicoba di beberapa negara sepertinya tidak semudah membalik telapak tangan jika diterapkan di Indonesia. Otoritas pengambil kebijakan publik sebaiknya mengkaji lebih mendalam, baik strategi pengenalannya, implementasinya, maupun kalkulasi dampak negatif dan positifnya. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan perlu diantisipasi.

Pertama, tentang fondasi budaya disiplin dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang masih jauh dari cukup memadai untuk mendukung EHK, misalnya bagaimana masyarakat tidak disiplin saat berlalu lintas, angka korupsi yang cenderung meningkat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih rendah. Indeks Inovasi Daerah yang masih rendah sehingga banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terlebih dahulu dengan kebijakan masih lima hari kerja dalam sepekan.

Kedua, masalah fondasi ke arah penerapan peradaban digital masih rawan dan rapuh terutama di kawasan perbatasan terdepan, terluar, dan termiskin (3T), termasuk wilayah pedesaan di luar pulau Jawa.

Ketiga, masalah orkestrasi berjenjang dari kebijakan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota tentang komunikasi kebijakan baru perlu dipikirkan kesiapan dan tolok ukur keberhasilannya.

Keempat, orkestrasi horizontal kebijakan pemerintah ke arah pelaku bisnis dan kordinasi antarlembaga pemerintahan dengan masyarakat yang terlibat. Adanya aspek kearifan lokal dan adat kebiasaan masyarakat perlu juga dipertimbangkan secara saksama.

Kelima, dialog publik dengan masyarakat secara luas harus dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan yang ditimbulkan dari penerapan EHK.

Keenam, perlu dibuatkan skenario entry dan exit strategy seandainya penerapan EHK gagal.

Semoga niat baik kebijakan EMK dapat terwujud. Jangan sampai pilihan akan penerapan EHK malahan membawa malapetaka yang pada akhirnya dapat menurunkan daya saing bangsa.

oleh Martani Huseini, Pengajar Inovasi Bisnis Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UI; Ketua CIGO FIA UI

dimuat dalam harian Kompas