Beberapa Persoalan Seputar PPN Transaksi Digital

MELEBARNYA defisit keuangan negara untuk memulihkan dampak ekonomi akibat wabah Covid-19 menuntut akselerasi dalam optimasi penerimaan negara. Salah satu alternatif eksternalisasi pajak potensial adalah pengenaan pajak atas transaksi daring (e-commerce).

Satu survei mengatakan 56% responden mengalami peningkatan pengeluaran selama pandemi. Belanja online menjadi pilihan untuk mematuhi anjuran tetap di rumah. Sebanyak 31% responden mengalami peningkatan belanja online 42% dibandingkan sebelum masa pandemi. (BPS, 2020)

Sesuai dengan karakter alamiah pajak yang merupakan ekor ekonomi, peningkatan belanja online ini menjadi momentum yang mendorong pemerintah untuk segera memberlakukan pengenaan pajak atas transaksi digital yang selama ini terkesan maju-mundur ragu.

Mulai 1 Juli 2020, pemerintah memberlakukan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang/jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang diatur PMK No. 48/PMK.03/2020.

Kebijakan ini perlu mendapat perhatian agar dapat mengoptimasi penerimaan, memberi kepastian hukum, serta menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan baik antara pelaku usaha konvensional dan ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam dan luar negeri.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan DJP tengah menyusun aturan turunan terkait dengan besaran nilai transaksi dan jumlah traffic atau pengakses PSME yang dapat dikenakan PPN. Lalu bagaimana seharusnya threshold itu ditentukan?

Pemajakan PMSE
PERUMUSAN suatu kebijakan perlu memperhatikan praktik terbaik yang dilakukan negara lain untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian di Indonesia. Hal yang perlu digarisbawahi dalam memajaki PMSE ini adalah (1) netralitas, dan (2) kemudahan dan efisiensi administrasi.

Netralitas dalam pajak sangat penting. Pajak tidak boleh mendistorsi keputusan wajib pajak sehingga lebih memilih satu sistem perdagangan ketimbang yang lain. Karena itu, negara lain menerapkan tarif PPN yang sama untuk transaksi digital dan nondigital baik lintas negara maupun domestik.

Pasal 6 ayat (1) PMK-48/2020 menyebut jumlah PPN yang harus dipungut pemungut PPN PMSE adalah 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Aturan tarif ini sama dengan ketetapan tarif PPN pada umumnya yaitu 10%, seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU PPN No. 42 Tahun 2009.

Dari dasar pemikiran tersebut, maka berdasarkan prinsip netralitas yang sama, jumlah ambang pembebasan (threshold) registrasi PPN yang sama juga seharusnya berlaku baik bagi pemungut pajak dari luar negeri (asing) maupun dalam negeri (domestik).

Jika pada ketentuan PPN saat ini menetapkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN adalah yang memiliki peredaran bruto di atas Rp4,8 miliar setahun, maka seharusnya ambang batas inilah yang digunakan dalam menentukan kriteria pemungut PPN PMSE.

Apabila dalam menetapkan treshold ini pemerintah mempertimbangkan faktor lain seperti jumlah traffic atau pengakses PMSE, maka sebaiknya ketentuan threshold peredaran bruto Rp4,8 miliar tetap menjadi faktor pertimbangan utama.

Kemudahan dan efisiensi administrasi merupakan faktor kedua yang penting diterapkan. Menurut Ottawa Taxation Framework Conditions, sistem pajak harus efisien dalam arti ‘biaya kepatuhan pembayar pajak dan biaya administrasi otoritas pajak harus diminimalisasi sejauh mungkin’.

Namun demikian di beberapa negara, kewajiban mengumpulkan sejumlah informasi transaksi dan data pelanggan menjadi hal yang memberatkan, bahkan dalam beberapa kasus dapat melanggar undang-undang privasi yang mengatur rahasia dagang.

Di Italia, perusahaan harus merilis tanda terima elektronik untuk semua pelanggan, mendaftar ‘alamat digital’ ke otoritas pajak dan mendapat alamat digital pelanggan dan pemasok. Intinya, perlu keseimbangan antara biaya kepatuhan persyaratan informasi dan kebutuhan verifikasi kepatuhan.

Pasal 9 ayat (1) PMK-48/PMK.03/2020 menyebut pemungut PPN harus melaporkan PPN yang dipungut triwulanan untuk periode 3 masa pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.

Mengingat PPN PMSE ini merupakan kebijakan baru dan baru kali ini pemungutnya melibatkan wajib pajak luar negeri, maka ketentuan pelaporan secara triwulan dinilai wajar dan memenuhi asas kemudahan administrasi.

Terkait dengan verifikasi kepatuhan PPN, Pasal 7 PMK 48/2020 menyebut pemungut PPN membuat bukti pungut PPN atas PPN yang dipungut. Memperhatikan ketentuan ini, verifikasi kepatuhan PPN belum terpenuhi dengan kuat karena hanya berdasarkan pelaporan pemungut PPN PMSE.

Berbeda dengan metode substraksi pajak keluaran dan pajak masukan yang dapat menjadi salah satu kontrol kepatuhan wajib pajak dalam negeri, akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemeriksa pajak untuk membuktikan wajib pajak luar negeri mematuhi seluruh kewajiban pemungutan PPN PMSE.

Dengan demikian, pemerintah perlu mengembangkan kerja sama yang kuat untuk membangun basis data PMSE dengan pemungut di luar negeri ataupun pihak ketiga yang secara langsung memfasilitasi pemanfaatan barang/jasa kena pajak tidak berwujud melalui PMSE.

Sumber: ddtc.co.id