UU IKN menyatakan, dua tahun setelah disahkan, mesti terbentuk UU Jakarta baru. Argumen kekhususan harus disiapkan dengan baik oleh perumus UU Jakarta. Salah kunci penting untuk diperhatikan ialah tata kelola perkotaan.

Tak lama lagi upaya merealisasikan ibukota negara baru (IKN) di Penajam Utara, Kalimantan, segera terwujud seiring dengan komitmen kuat Presiden Joko Widodo dan jajarannya.

Komitmen juga diarahkan untuk menyiapkan pembenahan kota Jakarta yang segera tak menjadi ibukota RI kelak. UU IKN menyatakan, dua tahun setelah disahkan, mesti terbentuk UU Jakarta baru. Batas waktu ini kian dekat. Kita harus segera merevisi UU Jakarta eksisting, yaitu UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota NKRI. Jika tidak, program pembangunan IKN baru dapat terhambat.

Jakarta telah memenuhi derajat sebagai kota di atas ”metropolitan” menurut Bank Dunia (1995). Kota Jakarta yang eksisting adalah setingkat provinsi, dan dari skala perkotaan memiliki karakter multi-aspek dan multi-pusat kegiatan ekonomi. Kota ”mega(lo)politan”.

Karakter itu dibarengi dengan pola jejaring yang terbentuk bahkan melebihi garis batas administrasi provinsinya. Karakter metropolitan dari kota ini sudah terlampaui. Jumlah titik pusat kegiatan ekonomi Jakarta melampaui sebuah metropolitan dengan jejaring eksternal sangat masif.

Jakarta sebagai mega(lo)politan juga bisa dijadikan argumen mempertahankan kekhususannya. Argumen terkuat, ia satu-satunya kota urbanized di Indonesia dan memiliki sejarah panjang sebagai pusat tata-kelola negara bangsa Indonesia. Argumen kekhususan harus disiapkan dengan baik oleh perumus UU Jakarta.

Di Indonesia, ciri semacam ini juga ada pada kota Medan, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Semarang, namun derajat tertinggi masih Jakarta. Tingginya derajat perkotaan ini juga diiringi oleh derajat permasalahan yang dihadapinya.

Segudang masalah dirasakan mulai dari kemacetan, banjir, sampah, pemukiman kumuh, polusi, dan lain-lain. Soal seperti ini terus-menerus menumpuk jika tak dikelola dengan baik. Celakanya, semakin besar kota, semakin tak sanggup menangani masalah ini secara mandiri. Harus ada koordinasi vertikal dan horizontal (Prude Home: 1995). Seiring perkembangan waktu, keadaaan ini juga akan dialami kota-kota lain di Indonesia.

Kuncinya, terutama pada tata kelola perkotaan. Sementara, payung hukum tata-kelola perkotaan di Indonesia belum dirumuskan dengan memadai, dan soal tata kelola perkotaan di Indonesia masih ditampung dalam peraturan perundangan pemda secara umum.

Pertimbangan mega(lo)politan

Terdapat sejumlah pertimbangan dalam merumuskan mega(lo)politan Jakarta berbasis ”Regional and Administrative science” (Leemans: 1970). Ini juga penting untuk kecermatan dan kecepatan menyambut IKN agar tak terhambat.

Pertama, paradigma desain organisasi pemerintahan daerah dalam negara bangsa. Bagaimanapun tata kelola pemerintahan perkotaan adalah bagian dari genus ”local government”. AF Leemans menyebut ada dua pola dalam hal ini: basis fungsi; dan basis teritori.

Pertimbangan basis fungsi, mega(lo)politan Jakarta kelak mengutamakan kekuatan unit- unit fungsionalnya di pusat pemerintahan untuk mengelola ke segala penjuru kotanya. Dinas provinsi harus memiliki agile process dan able people yang kuat. Masing-masing dinas berlomba jadi yang terbaik sesuai pertimbangan rasional sektornya sehingga pemetaan wilayah kerja harus akurat.

Layanan ke masyarakat dan kawasan kota Jakarta dari masing-masing dinas harus sekuat-kuatnya. Pertimbangan terdapatnya susunan level masyarakat tidak utama dalam hal ini, melainkan tuntutan optimum sektornya.

Sebaliknya, dalam basis regional, tata kelola mega(lo)politan Jakarta lebih banyak diserahkan ke unit-unit teritorialnya. Seperti kita tahu, di dalam kota Jakarta ada pemerintahan setingkat kota administratif dan kabupaten, bah kan kecamatan dan kelurahan.

Di titik ini, isu dua level otonomi pun menyeruak meski tetap diinginkan ’kekhususan” bagi Jakarta, satu tingkat atau dua tingkat. Di antara dua pola itu, mungkin kelak secara pragmatis akan muncul pendekatan campuran yang ditetapkan dalam revisi UU Jakarta.

Kedua, kekhususan Jakarta kelak sebaiknya tak hanya terkait otonomi satu tingkat. Jakarta khusus itu apa? Harus dilakukan terobosan serius agar perumusan draf UU Jakarta ini tak memikirkan ”barang rongsokan”, tetapi satu yang baru dan out-of-the box, salah satunya adalah bahwa birokrasi Jakarta adalah birokrasi kota maju masa depan yang hebat di samping desain organ-organ politik lokalnya.

Label mega(lo)politan bisa digunakan untuk menyebut ”provinsi” Jakarta yang baru kelak. Di bawahnya juga mengikuti berupa ”metropolitan” untuk level kotanya dan ”haminte” untuk Kabupaten Kepulauan seribu. Sebutan ”dinas” juga out-of-date, harus disebut lain. Pos-pos jabatannya juga sudah tertinggal. Ditambah tata kelola di dalamnya harus khusus, lain dari yang lain.

Ketiga, bagaimanapun perumus draf UU Jakarta perlu memerhatikan aspek sosial-ekonomi-politik-budaya dan hankam lokal dan nasional, Jakarta. Tim perumus perlu menjaring aspirasi dari para tokoh masyarakat setempat dan nasional. Tokoh masyarakat Betawi perlu berbicara. Rumusan Jakarta kelak, adalah rumusan yang melibatkan warga kotanya dengan baik.

Pengelola Jakarta harus mampu melakukan koordinasi vertikal dan horizontal secara masif dan ekstensif secara berkualitas untuk kepentingan kotanya. Dengan perhatian pada pertimbangan-pertimbangan ini kelak, mega(lo)politan Jakarta menjadi kota kelas dunia, mampu bersaing, baik di tingkat ASEAN, Asia, bahkan juga seantero jagat.

Irfan Ridwan Maksum Guru Besar tetap Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Ketua Pusat Studi DeLOGO-FIA-UI aspek strategi organisasi. Pada saatnya kelak, tata kelola Jakarta berikut kekuatan sumber dayanya digerakkan oleh pengelolanya. Dengan demikian draf UU Jaka