Kasus Binomo, Indra Kenz, dan para korbannya sangat menyedihkan dan berdampak luas sehingga perlu ditangkal hingga ke akarnya. Kasus ini khas terjadi di era yang lazim disebut sebagai fenomena post-truth oleh para ilmuwan sosial dan komunikasi. Ia sering membuat gaduh dalam pembicaraan sehari-hari hingga menjadi pembicaraan tingkat tinggi di ranah bisnis dan politis.

Tiga unsur kunci yang dibingkai dalam praktik bisnis ataupun marketing era digital adalah post-truth, flexing, dan digital marketing yang tidak bertanggung jawab. Tujuannya target konsumen yang kurang teliti dan mudah tergelincir. Lihat saja kealpaan ini secara beruntun terungkap dalam kasus serupa Binomo, DNA Pro, Robo Trading, pinjol (pinjaman sistem online yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan), serta masih banyak lagi kasus lainnya.

Secara sederhana, post-truth diartikan sebagai fenomena sosial ketika manusia bingung memilah dan memilih mana data dan fakta yang benar untuk disikapinya. Sering kali pikiran kita dibingungkan oleh berita hoaks yang bertebaran ditambah dengan fenomena flexing (pamer kemewahan) untuk menambah harumnya bumbu bagi praktik bisnis di era digital yang curang. Praktik ini jauh dari memenuhi etika berbisnis yang benar.

Dalam kasus penipuan bisnis pola digital semacam ini, para pelakunya beraksi bersama artis dan pesohor yang diperankan sebagai inluencer dan atau endorser pada konteks marketing digital. Akhirnya mereka berujung masuk ranah pidana. Berbagai pihak itu harus berhadapan dengan aparat hukum.

Untunglah, nama-nama pesohor yang menjadi besar karena pemasaran media sosial tersebut makin menambah buncahnya persoalan. Akibatnya, mata publik terbuka tentang persoalan yang sebelumnya seakan menjadi lahan idaman berinvestasi.

Bahkan, dalam berbagai kasus, para pesohor terpaksa mengembalikan sejumlah uang cukup besar karena takut dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering). Ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang dikhawatirkan dapat menguras kekayaan sebelumnya yang mungkin diperoleh secara halal.

Model AISAS dan ”penta helix”

Pada pola pemasaran konvensional dikenal model AIDA (attention, interest, desire, and action) dalam mewujudkan suatu proses pembelian. Kini, di era pemasaran digital model perilaku konsumen berubah menjadi AISAS (attention, interest, search, action, and share). Elemen ”search and share” merupakan pembeda yang rawan bisa direkayasa ke arah pengelabuan dengan imbuhan tampilan kemewahan yang berlebihan dan pembingungan ke arah post-truth.

Pada sisi publik, transisi dari kegiatan marketing analog ke arah digital membutuhkan adaptasi yang cepat oleh masyarakat. Ia seperti membutuhkan fondasi bangunan peradaban baru. Pilar-pilar kelembagaan perlu diperkokoh untuk memperkuat fungsi penyebaran informasi, pemantauan, verifikasi, validasi, dan pengawasan agar terhindar praktik bisnis bodong.

Pada era bisnis konvensional, pemanfaatan peran tripple helix ABG (academician, businessman, dan government) sudah mencukupi dalam proses edukasi, pemantauan, dan pengawasan. Namun, di era pemasaran digital, terdapat dua fungsi tambahan, yaitu media dan komunitas, sehingga menjadi penta helix. Keduanya harus disinkronkan untuk fungsi verifikasi, validasi, dan ”akreditasi”. Ini terkait dengan kecepatan arus informasi digital yang tinggi (real time) dalam bentuk tulisan, gambar, hingga film pendek di media sosial.

Memang platform dan ekosistem digital ini memiliki fungsi yang sangat ampuh dan menarik jika dimanfaatkan ke arah bisnis positif. Karena kegiatan manusia kini dapat terbantu dengan platform digital yang mutakhir dengan karakter 10 V (volume, velocity, variety, veracity, value, validity, variability, venue, vocabulary, vagueness). Komponen 10 V yang terintegrasi dalam big data dapat dimanfaatkan untuk kehidupan dan peradaban baru.

Namun, di balik wajah koin yang sama, akan terdapat masalah bagi yang kurang paham tentang peradaban baru ini. Edukasi sekaligus literasi diperlukan untuk fungsi verifikasi, validasi, dan akreditasi (saat mulai paham dan dapat aktif di dalamnya).

Seandainya fondasi budaya dan tata kelola dalam peradaban masyarakat Indonesia baru sudah menyatu, malapraktik pemasaran digital tidak perlu dirisaukan. Namun, kenyataannya kesiapan masih jauh dari mencukupi, seperti terlihat pada angka Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kesejahteraan Manusia yang masih berada di peringkat bawah. Kasus korupsi semakin meluas tidak hanya dilakukan oleh pimpinan tingkat pusat, tetapi menembus hingga kabupaten dan kota melibatkan dunia usaha. Bahkan, kegiatan sosial pun tidak terlepas dari kasus korupsi.

Pembenahan yang holistik pada tingkatan makro, meso, dan mikro sangat mendesak untuk dilakukan. Kejadian Binomo, DNA Pro, Robo Trading, dan lain sebagainya merupakan indikator masih rapuhnya masyarakat Indonesia yang belum memahami bahaya post-truth, flexing, serta trik lainnya dalam pemasaran digital.

Korban akan semakin banyak berjatuhan jika penangkalnya belum bisa dirasakan sebagai fungsi baru dari media dan komunitas. Pengelabuan dengan suguhan flexing dalam proses endorsing, influencing, hingga decision-making sedang marak di Indonesia. Mulai dari pancingan iklan berita di media sosial hingga tontonan film pendek di platform digital dan aplikasi lainnya.

Senyatanya kita memang sedang hidup di era yang sulit, yaitu masa ketika kebohongan mudah disamarkan menjadi kebenaran. Sebaliknya, yang benar dinarasikan bohong oleh pihak-pihak tertentu sehingga rasionalitas dikalahkan oleh rekayasa konten dan teknologi yang canggih. Hal ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat kita yang pada umumnya enggan melakukan verifikasi, validasi, ataupun tracking/tracing uji kebenaran suatu berita.

Rasionalitas manusia menjadi terganggu dalam proses berpikir normal yang seharusnya menjadi basis pada dunia bisnis. Karena itu, dengan mudah kita paham kenapa flexing dalam dunia pemasaran digital sedang marak dimanfaatkan oleh perekayasa ahli konten di media sosial. Terutama karena pertimbangan praktis, berbiaya murah, dan mudah dalam penggarapannya.

Menangkal ”post-truth” dan ”flexing”

Semakin banyak persoalan timbul, semakin terasa bahwa dalam transformasi ke peradaban platform bisnis digital semakin dibutuhkan penta helix yang melibatkan pihak komunitas dan media untuk orkestrasi proses edukasi, sosialisasi, dan verifikasi. Hanya dengan orkestrasi penta helix ini dapat terjadi validasi yang lumayan komprehensif.

Di luar itu, peran pemerintah dalam mengatur kebijakan pada tingkat makro juga sangat dibutuhkan. Pemerintahlah yang mengatur sistem, proses bisnis, dan rambu-rambu bagi para pelakunya agar pengelabuan dapat dicegah, dan kembali pada kerja keras yang inovatif di era digital ini. Pada saat yang sama, akademisi diharapkan berperan sebagai kritikus dan pencerah dalam proses transformasi tersebut.

Pada tataran mesomemang seharusnya peran komunitas dan media yang diharapkan lebih terasa untuk mencegah malapraktik bisnis. Dalam konteks big data, komunitas dan media yang saling melakukan pengecekan antar-asosiasi dan lintas komunitas menjadi kunci yang penting.

Semua komunitas serta asosiasi harus tergabung serta terdaftar dalam aktivitas bisnis agar dapat terpantau oleh otoritas bisnis, keuangan, dan perpajakan, seperti OJK, Kadin, dan Kadinda ataupun asosiasi sektoral dan komunalnya. Dengan demikian, pergerakan malapraktik bisnis bisa disampaikan di semua media, baik konvesional maupun digital.

Adapun pada tingkatan mikro, jelilah terus memperhatikan praktik di lapangan, aturan main, dan etika bisnis yang telah ditanamkan dan diwajibkan oleh otoritas ditingkat makro. Dengan cara ini, gejala awal tindak malapraktik dapat dimitigasi pencegahannya melalui penelusuran secara cepat pada basis data komunitas.

Kolaborasi peran penta helix untuk proses menuju orkestrasi yang baik harus dipimpin oleh pemerintah yang dinamis. Ibarat sebuah tontonan orkestra yang indah, pemerintah harus bersedia mempersiapkan partitur yang baik agar semua pemain ABG dan komunitas serta media bisa dan taat membaca not balok dalam setiap konteks lagu pilihan.

Semua gerakan instruksi pemerintah sebagai dirigennya juga harus mudah dipahami dan dilaksanakan. Di situlah juga terdapat kesempatan menguji apakah betul media dan komunitas sudah didekati secara tepat oleh pemerintah.

Martani Huseini, Guru Besar Pemerhati Marketing Digital, Ketua CIGO FIA UI

dimuat dalam harian Kompas