Dimulai di Jakarta, dari tanggal 17 Februari hingga 21 Februari, gelombang demonstrasi meletus di bawah bendera Indonesia Gelap, yang dipimpin oleh para mahasiswa dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Gerakan ini dengan cepat menyebar ke berbagai daerah, dengan ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan, menyerbu kantor-kantor legislatif setempat dan berkumpul di area Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta, yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Istana Presiden.
Inti dari kerusuhan ini adalah pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang telah mempengaruhi bidang-bidang pendanaan yang krusial, termasuk pendidikan. Selain itu, para pengunjuk rasa juga menyuarakan keprihatinan mereka terhadap program pemberian makanan bergizi gratis yang melibatkan TNI dan Polri, karena mereka khawatir bahwa program ini menandakan kebangkitan kembali Dwifungsi ABRI yang telah lama dihapuskan.
Menambah bahan bakar ke dalam api adalah meningkatnya penindasan terhadap sebuah band punk dari Purbalingga, Jawa Tengah, atas lagu mereka “Bayar, Bayar, Bayar”.
Demonstrasi-demonstrasi ini mencerminkan kecemasan publik yang mendalam atas cengkeraman para elit yang semakin kuat terhadap kebijakan-kebijakan negara, sebuah fenomena yang mengkhawatirkan yang dikenal dengan istilah state capture.
State capture terjadi ketika kebijakan pemerintah tidak lagi melayani kepentingan publik, melainkan dimanipulasi oleh sekelompok kecil elit bisnis dan politik yang memiliki akses istimewa terhadap kekuasaan. Hellman, Jones, dan Kaufmann dalam penelitian mereka, “Seize the State, Seize the Day”, menggambarkan bagaimana, dalam kondisi seperti ini, lembaga-lembaga negara menjadi tunduk pada kepentingan elit swasta.
Protes Indonesia Gelap adalah ekspresi nyata dari keprihatinan publik atas meningkatnya visibilitas perampasan negara di Indonesia. Dominasi pelaku bisnis dalam pemerintahan bukan lagi sekedar kecurigaan, melainkan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa setidaknya 354 dari 580 (61 persen) anggota DPR RI periode 2024-2029 memiliki latar belakang bisnis. Sementara itu, posisi-posisi kunci di kementerian kini dipegang oleh individu-individu yang memiliki kepentingan bisnis secara langsung.
Akibatnya, risiko konflik kepentingan pun meroket. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat justru dibajak oleh oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaannya.
Salah satu indikasi nyata dari state capture adalah kebijakan fiskal pemerintah yang terlihat semakin dirancang untuk menguntungkan kelompok elit. Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025 mengamanatkan pemotongan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun (US$ 20 miliar), yang mempengaruhi sektor-sektor vital termasuk pengurangan anggaran untuk lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang anggarannya dipangkas sebesar Rp 201 miliar dan Mahkamah Agung (Rp 2,2 triliun). Hal ini secara signifikan melemahkan mekanisme checks and balances yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi.
Sementara itu, pemotongan anggaran ini sangat kontras dengan proyek-proyek berskala besar pemerintah. Salah satu contoh yang mencolok adalah Danantara, sebuah lembaga dana investasi baru yang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan.
Danantara telah memicu kontroversi karena perannya yang potensial dalam memfasilitasi eksploitasi sumber daya negara untuk kepentingan segelintir orang. Skandal korupsi perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina baru-baru ini, yang melibatkan pemalsuan bahan bakar yang merugikan negara triliunan Rupiah, semakin menyoroti sektor energi sebagai titik rawan korupsi sistemik.
Skandal ini seharusnya menjadi tanda peringatan, yang mendorong penilaian ulang yang kritis terhadap masa depan Danantara. Bukankah akan menjadi tindakan yang gegabah untuk memberikan kekebalan hukum kepada operator Danantara dengan kedok kebijaksanaan bisnis? Tidak heran jika masyarakat kini mendesak pemerintah untuk menarik proyek tersebut, karena menganggapnya sebagai sarana lain untuk dominasi elit atas sektor-sektor ekonomi utama.
Protes Indonesia Gelap menggarisbawahi ketakutan publik yang meningkat atas cengkeraman elit yang semakin kuat terhadap kebijakan-kebijakan nasional. Untuk mencegah Indonesia tenggelam lebih jauh ke dalam perangkap perampasan negara, langkah pertama dan terpenting adalah memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan publik, terutama yang melibatkan anggaran dan investasi strategis, harus diawasi secara ketat. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung harus diperkuat, bukan dilemahkan dengan pemotongan anggaran.
Selain itu, konflik kepentingan antara pejabat publik dan sektor bisnis harus diminimalisir dengan memberlakukan peraturan yang lebih ketat mengenai keterlibatan pebisnis dalam posisi pemerintahan. Peraturan yang lebih jelas dan ketat terhadap rangkap jabatan di sektor eksekutif dan bisnis harus diterapkan untuk mencegah kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit. Prinsip-prinsip transparansi juga harus ditegakkan dalam pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN), termasuk proyek-proyek besar seperti Danantara, untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil memprioritaskan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi.
Masyarakat sipil dan media juga memainkan peran penting dalam memantau potensi pengambilalihan oleh negara. Kebebasan pers harus dilindungi untuk memastikan bahwa jurnalisme investigasi dapat terus mengungkap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketika demonstrasi seperti Indonesia Gelap meletus, hal ini menjadi pengingat bahwa partisipasi warga negara merupakan garis pertahanan terakhir terhadap kontrol oligarki atas demokrasi. Oleh karena itu, represi terhadap kebebasan berekspresi dan kriminalisasi terhadap kritik publik harus dihentikan.
Terakhir, reformasi sistem politik diperlukan untuk memperluas partisipasi independen dan publik dalam proses pengambilan keputusan. Pendanaan partai politik harus dibuat lebih transparan dan tidak terlalu bergantung pada sumbangan besar dari para elit bisnis, yang sering kali mengarah pada utang politik.
Jika langkah-langkah ini diambil, demokrasi mungkin tidak lagi berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang untuk mempertahankan kepentingan mereka, melainkan sebuah sistem di mana mereka yang berada di jabatan publik benar-benar bekerja untuk rakyat.
Namun, apakah hal itu masih mungkin terjadi? Atau apakah kita mungkin telah dikondisikan untuk meninggalkan harapan sama sekali? Kecuali, tentu saja, pemerintahan ini memang sudah mencapai titik di mana ia sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Oleh Ismail Khozen, Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Sumber: The Jakarta Post