Adopsi kecerdasan buatan di sektor publik Indonesia masih menjadi tantangan besar. Meskipun AI memiliki potensi besar untuk merevolusi tata kelola pemerintahan, meningkatkan pengambilan keputusan, dan meningkatkan pelayanan publik, posisi Indonesia saat ini dalam indeks AI global menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan.
Dalam Indeks AI Global 2024, Indonesia berada di peringkat ke-49 dari 83 negara, tertinggal dari negara-negara lain di kawasan regional seperti Singapura dan Malaysia. Demikian pula, Indeks Kesiapan AI Pemerintah 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-38 dari 181 negara, yang menyoroti kesenjangan dalam hal kebijakan, infrastruktur, dan kapasitas teknis.
Stanford AI Index semakin menggarisbawahi absennya Indonesia dari 50 negara teratas dalam hal hasil penelitian, paten, dan investasi AI. Sementara itu, Global Innovation Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-54 dari 133 negara, yang mencerminkan kurangnya investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan serta infrastruktur digital.
Peringkat ini menunjukkan kenyataan pahit bahwa Indonesia tertinggal dalam perlombaan AI global. Tanpa tindakan tegas, Indonesia berisiko tertinggal di era digital.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, ada beberapa kemajuan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menggunakan AI untuk memprediksi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, menggunakan analisis data untuk memberikan peringatan dini dan menyelamatkan nyawa.
Selama pandemi COVID-19, platform berbasis AI digunakan untuk melacak penyebaran virus, mengoptimalkan distribusi vaksin, dan memantau kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Contoh-contoh ini menunjukkan potensi AI untuk mengatasi tantangan sektor publik yang kritis. Namun, aplikasi semacam itu masih terbatas dalam cakupan dan skalanya.
Agar AI dapat benar-benar mengubah sektor publik di Indonesia, pendekatan yang lebih komprehensif dan strategis sangatlah penting. Beberapa hambatan menghambat adopsi AI di Indonesia.
Pertama, kurangnya infrastruktur digital. Menurut International Telecommunication Union (ITU), hanya 62 persen populasi Indonesia yang memiliki akses internet pada tahun 2022, dengan daerah pedesaan yang memiliki tingkat konektivitas yang lebih rendah. Kecepatan internet rata-rata 20,9 mbps, seperti yang dilaporkan oleh Speed test Global Index pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata global 39,5 mbps. Kurangnya internet berkecepatan tinggi ini menghambat penyebaran sistem AI yang mengandalkan pemrosesan data real-time.
Kedua, kurangnya tenaga profesional AI yang terampil, termasuk ilmuwan data, insinyur, dan peneliti. Kesenjangan talenta ini membatasi kemampuan negara untuk mengembangkan dan mengimplementasikan solusi AI.
Ketiga, kerangka kebijakan yang lemah. Meskipun inisiatif seperti Making Indonesia 4.0 telah diluncurkan, masih ada kekurangan kebijakan yang jelas dan dapat ditegakkan untuk memandu pengembangan AI dan penggunaan yang etis.
Keempat, fragmentasi data masih menjadi masalah penting. Data sektor publik sering kali terkotak-kotak dan tidak dapat diakses, sehingga menghambat pengembangan sistem AI yang membutuhkan kumpulan data yang besar dan terintegrasi.
Terakhir, kepercayaan publik dan masalah etika harus ditangani. Penyalahgunaan AI, seperti dalam pengawasan atau pengambilan keputusan yang bias, dapat mengikis kepercayaan publik. Oleh karena itu, memastikan transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia harus memulai perjalanan transformasi digital yang komprehensif.
Pertama, pemerintah harus memprioritaskan pengembangan internet berkecepatan tinggi dan infrastruktur digital, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Memperluas jaringan 4G dan 5G serta berinvestasi pada kabel serat optik dapat meningkatkan konektivitas secara signifikan.
Kedua, Indonesia harus berinvestasi dalam program pendidikan dan pelatihan AI di semua tingkatan, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Kemitraan dengan perusahaan teknologi dan lembaga internasional dapat membantu menjembatani kesenjangan bakat.
Ketiga, strategi AI nasional yang jelas dan komprehensif diperlukan untuk memandu penelitian, pengembangan, dan implementasi. Strategi ini harus mencakup pedoman etika untuk memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab.
Keempat, pemerintah harus membuat platform data terpusat dan mempromosikan inisiatif data terbuka untuk memfasilitasi pengembangan AI. Privasi dan keamanan data harus diprioritaskan untuk melindungi informasi warga negara.
Terakhir, membina kemitraan publik-swasta sangat penting untuk mendorong inovasi AI. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi dapat mempercepat kemajuan, sementara insentif seperti keringanan pajak dan hibah dapat mendorong investasi sektor swasta dalam proyek-proyek AI.
Penerapan AI dapat mendorong Indonesia untuk menjadi negara maju dengan memperkuat institusi dan tata kelolanya. AI dapat meningkatkan pelayanan publik dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, mengurangi inefisiensi birokrasi, dan meningkatkan pengambilan keputusan melalui wawasan berbasis data.
Sebagai contoh, sistem yang didukung AI dapat merampingkan pengumpulan pajak, mengoptimalkan alokasi anggaran, dan mendeteksi kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Di bidang pendidikan, AI dapat mempersonalisasi pengalaman belajar, mengidentifikasi siswa yang berisiko, dan meningkatkan program pelatihan guru. Di bidang kesehatan, AI dapat memprediksi wabah penyakit, mengoptimalkan alokasi sumber daya, dan meningkatkan akurasi diagnostik.
Selain itu, AI dapat memperkuat tata kelola pemerintahan dengan memungkinkan pembuatan kebijakan berbasis bukti. Dengan menganalisis data dalam jumlah besar, AI dapat mengidentifikasi tren, memprediksi hasil, dan memberikan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti bagi para pembuat kebijakan.
Misalnya, AI dapat membantu merancang program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran dengan mengidentifikasi populasi yang rentan dan memprediksi dampak intervensi. Di sektor hukum, AI dapat membantu menyusun undang-undang, menganalisis kasus pengadilan, dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.
Tantangan adopsi AI di sektor publik Indonesia cukup signifikan, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi. Dengan mengatasi kesenjangan infrastruktur, membangun talenta, dan menerapkan kebijakan yang jelas, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin dalam adopsi AI di Asia Tenggara. Contoh-contoh AI dalam penanggulangan bencana dan kesehatan masyarakat menunjukkan potensi transformatifnya.
Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan. Saat Indonesia memulai perjalanan transformasi digitalnya, sektor publik harus menjadi yang terdepan dalam merangkul AI sebagai alat untuk inovasi dan kemajuan.
Dengan melakukan hal tersebut, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan pelayanan publik, tetapi juga meningkatkan posisinya dalam indeks AI global, membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah dan lebih maju secara teknologi.
Perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi hasilnya, yaitu sektor publik yang lebih efisien, transparan, dan responsif, akan sepadan dengan usaha yang dilakukan. Dengan institusi dan tata kelola yang kuat, Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan AI sebagai katalisator untuk menjadi negara maju, menjadi contoh bagi kawasan dan dunia.
oleh Wisnu Juwono
dosen di bidang tata kelola pemerintahan di Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.