Indonesia memiliki banyak museum. Namun secara umum, museum di Indonesia seringkali dipandang sebelah mata dan kurang menarik. Hal ini menyebabkan tidak banyak orang yang berminat untuk berkunjung ke museum di Indonesia.

Kalimat tersebut disampaikan oleh Ixora Lundia Suwaryono sebagai pembuka dalam sidang promosi doktor di bidang Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dengan judul disertasi “Pengelolaan Museum di Indonesia: Pemasaran Berbasis Nilai Budaya” pada Jumat, 8 Juli 2022 pagi secara hybrid (daring dan luring).

Ixora menyampaikan bahwa museum di Indonesia didominasi dengan museum yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, baik kementrian maupun lembaga, dan pemerintah daerah. Hal tersebut bukan berarti adopsi konsep bisnis tidak dapat diterapkan bagi pengelolaan museum di Indonesia, namun konsep tersebut harus dipahami secara utuh.

“Sebagai instansi publik yang dikelola pemerintah, museum memiliki banyak tantangan seperti masalah keterbatasan pendanaan, kompetensi sumber daya manusia, dan persepsi masyarakat yang menganggap museum sebagai tempat yang menyeramkan. Sehingga bentuk pemasaran untuk pengelolaan museum harus yang disesuaikan dengan keadaan tersebut,” kata Dosen yang kerap disapa Ichay.

Ixora melanjutkan dengan menyampaikan bahwa untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan penyesuaian konsep pemasaran bagi museum dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Hal ini dianggap sebagai kritisi terhadap konsep pemasaran yang umumnya mengacu pada negara-negara maju, yang mungkin kurang tepat apabila diterapkan pada budaya yang berbeda.

“Perkembangan museum-museum di negara maju dan perkembangan museum ke arah yang berorientasi terhadap pengunjung, mendorong museum di Indonesia untuk mengikuti perkembangan tersebut. Namun konsep tersebut adalah sesuatu yang baru bagi pengelola museum di Indonesia; sehingga terdapat kekhawatiran adanya komersialisasi museum yang mementingkan kuantitas pengunjung daripada kualitas,” katanya.

Mengutip pendapat Rentschler (2004), museum semakin bergeser ke arah orientasi kepada pengunjung, alih-alih koleksi. Pemasaran bagi museum juga bukan lagi menjadi hal yang tabu, mengingat museum yang harus tetap sebagai organisasi nirlaba, tetapi berada di tengah pasar bebas. Selanjutnya, Ixora menjelaskan bahwa konsep pemasaran jasa 7P dapat digunakan bagi pemasaran museum. Konsep tersebut merupakan pengembangan konsep bauran pemasaran produk barang yang selama ini dikenal dengan konsep 4P (Product, Price, Place, dan Promotion) dengan penambahan aspek People, Process, dan Physical Environment dalam produk jasa.

“Untuk mengembangkan museum di Indonesia, nilai-nilai budaya Indonesia, seperti guyub dan kolektivitas, dapat menjadi kekuatan sekaligus mengatasi tantangan sumber daya manusia. Novelty yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah pemasaran museum dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya Indonesia di dalamnya” pungkas Ixora.

Dalam penelitian ini, Ixora menemukan beberapa temuan, yakni kata yang muncul di benak responden saat mendengar kata museum didominasi dengan kata sejarah. Ixora menyampaikan bahwa sebagian responden ingin berkunjung ke museum di kemudian hari jika museum tersebut menarik, menampilkan objek yang variatif dan tidak membosankan. Ixora menyarankan bahwa pengelolaan museum di Indonesia adalah tugas bersama antara pemerintah, pengelola museum, perguruan tinggi dan masyarakat, sehingga masyarakat pun sebaiknya lebih berpartisipasi serta berkolaborasi dalam dengan museum di sekitarnya.

Usai Ixora menyampaikan ringkasan disertasinya, acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian pertanyaan maupun sanggahan dari tim penguji. Salah satunya adalah Prof. Dr. Martani Huseini, MBA yang bertanya mengenai bagaimana cara mengimplementasikan disertasi ini dengan perkembangan inovasi teknologi saat ini dan pengembangan yang kolaboratif.

“Dari hasil yang saya peroleh, tidak semua museum memiliki akses dan sumber daya yang sama di Indonesia. Inovasi di bidang teknologi sudah diimplementasikan oleh sebagian museum di Indonesia, misalnya dengan memberikan layanan kunjungan secara virtual ke museum pada masa Pandemi Covid-19. Namun, yang lebih penting adalah museum di Indonesia harus menjadi pilar pendidikan, bukan sekedar komplemen (pelengkap) bagi pendidikan di Indonesia. Sinergi pendidikan antara sekolah, perguruan tinggi, dan museum, dapat difasilitasi oleh pemerintah dengan cara mendorong penelitian antara museum dan perguruan tinggi.” jelas Ixora. Lebih lanjut dalam disertasinya, hal tersebut dapat terwujud dengan program Merdeka Belajar yang memungkinkan kegiatan magang dan penelitian yang menguatkan kerjasama antara museum, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian lainnya. Hal ini dapat membuat museum dan pendidikan di Indonesia berkembang secara maksimal.

Dalam acara sidang promosi doktor ini, Ixora berhasil menjadi doktor dari Fakultas Ilmu Administrasi yang ke 16 dalam bidang Ilmu Administrasi dengan yudisium sangat memuaskan.

Sebagai informasi, acara sidang promosi doktor ini dihadiri oleh Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si, M.M sebagai ketua sidang; Prof. Ir. Bernardus Yuliarto Nugroho, MSM, Ph.D sebagai promotor; Dr. Effy Zalfiana Rusfian, M.Si sebagai Co-promotor; dan anggota yakni Prof. Dr. Martani Huseini, MBA, Dr. Retno Kusumastuti, M. Si, Dr. Sapta Nirwandar, dan Dr. Ali Akbar, S. S., M.Hum.