Perluasan objek Bea Meterai (BM) yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang no. 10/2020 tentang Bea Meterai (UU BM) menyebabkan kegelisahan pelaku usaha digital ekonomi khususnya terkait dengan isu Terms and Conditions (T&C). Dikhawatirkan T&C akan dianggap sebagai dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek pemungutan BM, padhaal T&C merupakan salah satu kelaziman dalam ekonomi digital yang saat ini sedang terus diupayakan berkembang bahkan meningkat.

Bahkan Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia bisa menguasai 40% dari potensi ekonomi Asean pada 2025 agar kontribusi ekonomi digital meningkat menjadi 18% Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2030. Saat ini kontribusinya masih berada di kisaran dari 4% PDB, sehingga presiden mengarahkan dilakukannya percepatan pengembangan ekosistem ekonomi digital, baik infrastruktur, tata kelola, hingga regulasi dan sumber daya manusia (SDM).

Dalam Naskah Akademik (NA) RUU Bea Materai dikutip pendapat augusto Lopez Claros dari Bank Dunia menyatakan bahwa pembuat kebijakan harus menemukan keseimbangan yang pas antara meningkatkan penerimaan dan meyakinkan bahwa tarif pajak dan biaya kepatuhan tidak menghambat partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak atau tidak mengurangi minat dalam melakukan kegiatan usaha (NA, hal. 75). Berpijak pada pendapat Claros tersebut, tentu perumusan regulasi T&C sebagai objek BM yang baru juga harus dipastikan tidak menghambat atau mendistorsi kegiatan usaha. Apalagi, banyak riset dan data menunjukkan bahwa e-commerce telah banyak membantu UMKM untuk berkembang dan bahkan bisa bertahan di tengah pandemi. Karena itu, ketidakhati-hatian dalam menjadikan T&C sebagai objek BM justru akan menambah cost of taxation meliputi compliance cost yang harus ditanggung oleh pembayar pajak dan/atau pelaku usaha; enforcement cost otoritas pajak maupun; dan polocy cost, berupa trust dan legitimasi.

Sangat dimaklumi apabila ada keresahan dari pelaku usaha e-commerce dan platform digital lainnya karena BM akan memengaruhi cost dan cashflow karena istlah “Bea” menunjukkan bahwa BM merupakan pajak tidak langsung (NA hal 12), sehingga beban pajak dapat dialihkan. Dengan adanya beban tambahhan ini, maka pelaku usaha atau pengguna akan lebih memilih untuk bertransaksi di medsos yang besar peluangnya untuk tidak dikenakan BM.

Ketidakselarasan dengan asas keadilan justru dapat terjadi dengan membandingkan antara marketplace dan pusat perbelanjaan konvensional. Untuk menggaet pelanggan, mal menggelar loyalty programme. Pada saat registrasi, pelanggan tidak dikenakan BM. Perbandingan ekstrem lainnya dapat dianalogikan (calon) pembeli yang baru masuk mal untuk window shopping, mereka bisa keluar masuk mal berkali kali tanpa harus membayar BM. Sementara (calon) pembeli di platform digital sudah harus membayar BM padahal baru mengunduh aplikasi dan belum bertransaksi. Pengenaannya pun berpotensi dikenakan lebih dari satu kali dalam satu aplikasi, terlebih apabila aplikasi diunduh di perangkat yang berbeda-beda.

Kecermatan merumuskan kebihakan BM yang tepat juga harus dilihat dari asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit) agar selaras dengan arahan presiden untuk mempercepat pembangunan ekosistem ekonomi digital. Pengenaan BM atas T&C secara eksesif justru akan menimbulkan barrier to entry sekaligus berpotensi menimbulkan persoalan baik secara ekonomis maupun teknis pemungutan BM. Pengenaan BM terhadap T&C belum memenuhi asas kepastian hukum, karena browse-wrap T&C pengunaan situs e-commerce tidak memiliki underlying transaction, melainkan hanya berupa rambu-rambu penggunaan situs e-commerce. Syarat sahnya perjanjian berupa kesepakatan pun juga belum tentu terpenuhi, karena browse-wrap tidak memiliki fitur “I Accept”.

Pemungutan BM ssecara masif kepada seluruh T&C juga akan menghambat customer acquisition/merchant onboarding process sehingga menjadi kontra produktif terhadap tujuan pemerataan ekonomi secara digital. Untuk itu, langkah terbaik adalah dengan menerapkan secara terbatas pemungutan BM atas transaksi ekonomi digital, dengan menggunakan threshold policy, yaitu terbatas pada dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5 juta yang menyebutkan penerimaan uang; atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

Sebagaimana dua fungsi utama pajak, kebijakan pajak sebagai social, economic and political engineering juga sama pentingnya sebagai instrumen penerimaan negara. Keduanya bukan merupakan fungsi yang dikotomis melainkan berkelindan dan saling interdepensi satu dan lainnya. Karena itulah, argumentasi equal treatment seyogianya tidak diletakkan dengan kacamata kuda sehingga menyeragamkan dan memberlakukan T&C sebagai objek BM secara menyeluruh dengan tarif yang berlaku umum. Karena itu, diperlukan kebijakan relaksasi dengan tiga cara.

Pertama, pembatasan ruang lingkup (scope) jenis T&C yang dijadikan objek BM. Kedua, penundaan saat terutangnya BM yaitu saat menjadi dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Ketiga, tarif yang lebih rendah (0%). Ketiga alternatif kebijakan ini akan mendukung percepatan ekosistem digital yang berkelanjutan dan janji politik Presiden Jokowi untuk menyejahterakan rakyat melalui kenaikan kontribusi ekonomi digital terhadap perekonomian nasional.

oleh Guru Besar FIA UI Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.

dimuat dalam harian Bisnis Indonesia