Memasuki era pengangkatan penjabat kepala daerah di hampir 300 daerah, kini muncul berbagai keruwetan yang tak bisa dipandang sepele dalam praktik hubungan pusat-daerah di Indonesia.

Penyebabnya adalah karena dimensi hubungan pusat-daerah dalam sebuah negara bangsa menyangkut segi yang kompleks. Segi kompleks itu sering kali membuat banyak pihak gerah, skeptis, dan frustrasi memandang hubungan pusat-daerah dengan cara membabi buta menurut maunya pusat (elite nasional).

Dampaknya, muncul pandangan dari daerah yang menganggap pusat menjadi semakin dominan terkait apa yang harus dilakukan daerah untuk kepentingan masyarakatnya, otonomi daerah terkebiri. Hal ini tentu harus dicermati oleh kita semua untuk kemajuan Indonesia, karena kemajuan daerah membawa kemajuan Indonesia.

Karakter dasar

Otonomi daerah bermartabat ditunjukkan oleh karakter yang dimilikinya. Karakter ini dapat dinilai sebagai karakter dasar otonomi sebuah negara bangsa. Karakter itu dibentuk oleh elemen-elemen bangsa dan karenanya tidak lepas dari sejarah bangsa tersebut.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda telah dikembangkan otonomi daerah, yang pada suatu masa diantitesiskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) karena sempat dibawa ke sistem federal. Para pendiri bangsa tak setuju Indonesia berbentuk federal. Indonesia semestinya tetap berbentuk negara kesatuan terdesentralisasi, seperti pendiri bangsa mempertahankannya setelah dibentuk kelembagaannya bertahun-tahun oleh Pemerintah Hindia Belanda (Hoessein: 2000).

Sejak awal, otonomi daerah di Indonesia telah mengenal sistem wakil pemerintah. Hal ini dikembangkan sebagai perekat, integrator, dan koordinator di tingkat lokal, karena amat beragamnya kondisi lokal Indonesia agar selalu sinkron dan harmonis. Wakil pemerintah ini berperan mewakili kepala pemerintahan nasional, bukan sekadar mewakili sektor-sektor pemerintahan tertentu, terlebih Kemendagri.

Kini wakil pemerintah hanya di pundak gubernur yang juga menjabat kepala daerah provinsi. Di tingkat provinsi ini, wilayah kerja wakil pemerintah berimpit simetris dengan wilayah daerah otonom. Sistem seperti ini telah dikenal di dunia sebagai sistem prefektur terintegrasi. Kini, di tingkat kabupaten/kota tak terdapat prefektur.

Akan tetapi, setiap jengkal dalam wilayah provinsi di mana kabupaten/kota itu berada adalah wilayah kerja prefektur, sehingga bisa saja terdapat perpanjangan tangan gubernur di penjuru wilayah kerjanya, tidak harus melalui bupati/wali kota seperti pada masa Soeharto.

Satuan wilayah administratif belaka tak dikenal lagi dalam UUD 1945 hasil amendemen. Oleh karena itu, wilayah kerja wakil pemerintah tak dapat berdiri sendiri sama sekali di seluruh penjuru RI berdasar UUD ini, apalagi membentuk wilayah lebih kecil di dalamnya, seperti Ibu Kota Negara (IKN) dengan sebutan otorita sekalipun. Hal itu menyalahi UUD hasil amendemen. Aroma UUD 1945 sebelum amendemen tampak lebih fleksibel daripada UUD 1945 hasil amendemen.

Di negara mana pun, kepentingan nasional berada di atas kepentingan daerah otonom. Tetapi, kepentingan nasional tak mematikan kepentingan daerah otonom. Rambu-rambu ini harus diperhatikan oleh pemerintah berkuasa dan jajaran birokrasi terkait, agar paham rambu-rambu otonomi daerah, karena mudah menyatakan kepentingan nasional dan dapat merusak otonomi jika tidak dipahami dengan baik.

Jangan biarkan semakin kusut

Karakter dasar lain adalah tidak dikenalnya pilkada langsung untuk memilih kepala daerah otonom, melainkan melalui DPRD sebagai wakil rakyat lokal. Hanya tidak pula terbentuk sebuah DPRD yang bertipikal ”tidak Pancasilais”.

DPRD di dalam karakter dasar Indonesia adalah mitra pemerintah daerah dan Pancasilais. DPRD merupakan bagian dari kelembagaan pemerintahan daerah yang sama-sama berjuang untuk kepentingan masyarakatnya. Pancasila meyakini musyawarah mufakat, dan tidak ada hak DPRD untuk melakukan impeachment terhadap kepala daerah dalam hal ini. Tetapi, sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan kepala daerah harus tetap ditegakkan dengan kerangka nilai-nilai Pancasila.

Para pendiri bangsa, terutama Bung Hatta, jelas menolak pilkada langsung begitu ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1957, dengan basis pemikiran bahwa pilkada langsung dapat menyebabkan Indonesia terkoyak. Kini terbukti, konflik berkepanjangan terjadi akibat pilkada langsung, belum ditambah lagi data korupsi kepala daerah akibat biaya pilkada dan terpilihnya pemimpin korup karena perilaku rakus dorongan pilkada yang penuh ambisi, jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Namun, para pendiri bangsa tetap membiarkan adanya pemilihan di tingkat akar rumput, desa. Otonomi desa adalah otonomi kaki, bukan pemerintahan daerah dalam NKRI, menurut para pendiri bangsa. Maka, desa-desa di Indonesia seharusnya asimetris dengan setiap jengkal wilayah Indonesia karena dibiarkan tumbuh alami sesuai karakter lokal masing-masing, termasuk dalam hal pemilihan kepala desanya.

Karakter dasar yang membuat otonomi daerah bermartabat juga adalah bahwa birokrasi daerah otonom bukan kepanjangan tangan, apalagi bawahan, dari birokrasi pusat.

Dengan demikian, daerah otonom harus dapat mandiri, mampu, dan dapat memahami kebijakan nasional yang berjalan. Pemerintah pusat harus memampukan daerah otonom jika kondisinya lemah, tidak dengan intervensi. Birokrasi daerah adalah alat dari para pengambil keputusan di daerahnya sendiri atas nama rakyatnya untuk menegakkan otonomi daerah yang bermartabat.

Menyambung karakter dasar di atas, dimungkinkan tangan pusat hadir di daerah melalui instansi vertikal sesuai pembagian urusan yang dikembangkan dan seharusnya tetap ada karena kepentingan nasional niscaya muncul di daerah. Tidak haram orang pusat berkantor di daerah yang dapat melahirkan kolaborasi pusat-daerah yang bermartabat, dalam bingkai tugas pembantuan atau collaborative governance secara tepat asas.

Karakter dasar ini berdampak luas dalam semua segi yang kompleks. Jangan sampai segi yang kompleks itu dibiarkan semakin kusut dan rusak. Maka, sudah saatnya diperbaiki ke depan menjelang tahun politik 2024. Semoga.

Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UI; Chairman Pusat Kajian DeLOGO

dimuat dalam harian Kompas