Daya Tarik Kota dan Covid-19

DUNIA tidak berkutik dengan pandemi Covid-19. Kini harus menghadapi new normal, sebuah kesepakatan penduduk dunia dengan meluncurkan pemahaman baru dalam kehidupan terkait Covid-19, yang tak terbayangkan sebelumnya. Belahan dunia utama yang menggeliat langsung dengan konstruksi baru tersebut adalah kota-kota, tidak terkecuali kota-kota di Indonesia. Kota-kota tersusun hierarkis, mulai megalopolis, metropolis, city, dan township terkena imbas Covid-19 lebih kental daripada rural area, wilayah remote-nya.

Akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi tersusun hierarkis pula mengikuti susunan perkotaan tersebut. Di Indonesia tampak Kota Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Bandung, dan Semarang adalah kota-kota dengan catatan pandemi tertinggi. Kemudian menurun di susunan perkotaan berikutnya. Demikian sebaliknya imbas negatif Covid-19-pun tercatat tersusun sedemikian rupa. Jeritan Wali Kota Surabaya adalah sinyal akan hal tersebut, untuk menghentikan PSBB. Hantaman akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi dirasakan kuat, sedemikian tersusun atas hierarki perkotaan di manapun di dunia ini.

Magnet Kota
Era sekarang magnet kota ditarik lebih keras dengan teknologi informasi yang semakin canggih. Industri 4.0 mengakselerasi daya tarik kota sedemikian rupa dan tetap polanya tersusun hierarkis sesuai kekuatan industri tersebut. Industri 4.0 yang didorong oleh kecanggihan IT ini tersebar dalam berbagai media. Semua serbainternet yang menjadikan apa pun terabsorpsi melalui internet sehingga muncul metode internet of things (IoT) karena kecepatan akumulasi modal dan kegiatan ekonomi makin terakselerasi. Imbasnya, struktur hierarki kota mengikuti kecepatan akselerasi tersebut.

Di Indonesia, Kota Jakarta menempati posisi puncak ditambah secara tradisional kota ini adalah pusat pemerintahan Negara RI. Tentu menambah akumulasi modal dan kegiatan ekonomi semakin masif. Pukulan Covid-19, betul-betul mengentak proses akselerasi tersebut.

Pemilik modal terpukul, pelaku industri 4.0 terpukul keras, kota-kota lumpuh dengan Covid-19. Imbas ini ke aspek pemerintahan karena perlunya PAD dari pajak dan retribusi daerah. Imbas ini berdampak ke dunia media karena perlu membiayai periklanan. Dunia ini mengimbas ke ekonomi riil karena ketenagakerjaan sama dengan perputaran ekonomi skala kecil, menengah, dan akhirnya ke skala besar.

Covid-19 menghentikan magnet kota. Magnet kota yang terhenti tidak mampu menjadi pendorong ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan berbagai pihak dan berbagai sendi kehidupan. Bagaimanapun, pengaturnya adalah sektor pemerintah. Pemerintah dipaksa untuk menghidupkan magnet kota kembali. Kejadian ini melanda dunia. Magnet kota harus berdampingan dengan Covid-19. Itulah new normal .

Pengalaman berbagai negara berbeda-beda. Organisasi kesehatan dunia pun mengimbau agar memastikan magnet kota dihidupkan setelah wabah Covid-19 mampu dikendalikan terlebih dahulu. Indonesia menghadapinya dengan tanpa evaluasi PSBB, menerima langsung new normal sebagai perlambang tidak tahan lagi menghadapi Covid-19. Perkotaan Indonesia tengah sekarat. Dan terutama pelaku media semua menghadapi proses sekarat tersebut. Semua yang melawan ide new normal pun dieliminasi. Bahkan evaluasi serius PSBB pun seakan dihantam karena imbauan WHO pembenahan PSBB berarti tetap mematikan magnet kota.

Kekuatan Sosial Baru
Proses akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi yang dihentikan oleh Covid-19 ternyata dipicu aktivitas sosial. Berhentinya aktivitas sosial berimbas pada kegiatan ekonomi. Magnet kota mati karena matinya aktivitas sosial. Beberapa muncul sporadis aktivitas sosial di tengah pandemi. Hasilnya, pandemi tak terkendali, terus tinggi serta naik dan akibatnya korban jiwa pun tidak terhindari. Dengan PSBB yang instrumennya adalah social distancing, magnet kota redup, beberapa kegiatan sosial masih diperbolehkan, tetapi tidak begitu kuat magnetnya.

Melihat redupnya magnet kota saja membuat mati akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi, maka new normal menjadi pilihan berbagai pihak yang terkena imbas matinya magnet kota. Dorongan ke pemahaman masyarakat terhadap new normal digelorakan sedemikian rupa dengan biaya tak terhingga sekalipun. Dalam ranah pemerintahan, APBN dan APBD dialokasikan pula agar terwujud segera menghidupkan magnet kota berdampingan dengan Covid-19.

Kota Jakarta pun dihidupkan di tengah wabah Covid-19 yang tinggi, diikuti kota lainnya. Magnet kota harus hidup kembali. Jika tetap mati, maka kekuatan media dan segala kekuatan IT turut mati pula karena tidak disokong oleh pembiayaan dari hasil akumulasi model dan akselerasi kegiatan ekonomi magnet kota.

Gubernur Anies masih mengingatkan Covid-19 belum lenyap, terlebih belum ada vaksinnya. Kota Medan masih belum lepas dari PSBB, Kota Surabaya sudah menyatakan siap diikuti kota lainnya agar magnet kota hidup kembali. Akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi dibuka kembali dengan pola protokol kesehatan. Magnet kota mulai menyala, tetapi tidak sekuat sebelumnya.

Solusinya adalah berbagi kekuatan magnet dengan struktur hierarki perkotaan di sekitarnya. Energi magnet disebar sedemikian rupa sampai ke wilayah rural melalui IoT. Selama PSBB melalui WFH semua berjalan dengan magnet kota yang redup, maka dengan new normal proses meningkatkan magnet kota harus dibagi ke kota-kota sekitarnya, bahkan sampai rural dengan IoT. Internet of things adalah kuncinya di tengah new normal. Inilah kekuatan sosial baru, “berbagi magnet kota berdampingan dengan Covid-19”. Semoga.

Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar tetap, Ketua Pengmas Desa dan KlasterDeLOGO-FIA-UI

Sumber: Sindonews