Dalam era yang ditandai oleh percepatan teknologi dan meningkatnya ekspektasi warga, merangkul tata kelola digital bukan lagi pilihan, tetapi keharusan.
Pemerintah di seluruh dunia memanfaatkan alat digital untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyampaian layanan publik.
Namun, meskipun posisinya sebagai salah satu ekonomi digital terbesar di dunia, Indonesia tetap terjebak dalam siklus kemajuan yang terfragmentasi dan pengaturan ulang kebijakan yang merusak tujuan transformasi digital jangka panjangnya.
Perjalanan Indonesia menuju tata kelola digital ditandai oleh inovasi yang menjanjikan tetapi berumur pendek. Selama dekade terakhir, beberapa kementerian dan pemerintah daerah telah meluncurkan inisiatif yang menyoroti potensi transformatif dari alat digital di sektor publik.
Kementerian Keuangan, misalnya, memperkenalkan SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara), sebuah platform digital waktu nyata yang memodernisasi cara pemerintah memantau dan mengelola operasi fiskalnya. Inovasi ini secara signifikan meningkatkan transparansi anggaran dan koordinasi antar lembaga, menjadi titik referensi bagi negara berkembang lainnya.
Demikian pula, Kementerian Kesehatan membuat kemajuan dengan platform seperti PeduliLindungi dan SATUSEHAT, yang menunjukkan bagaimana data kesehatan dapat diintegrasikan dan dimobilisasi untuk merespons kebutuhan publik dengan lebih efisien.
Di tingkat regional, kota seperti Surabaya telah mengembangkan inisiatif tata kelola pintar seperti e-Musrenbang untuk perencanaan pembangunan partisipatif dan pusat komando seluruh kota untuk respons darurat waktu nyata. Platform pengaduan masyarakat LAPOR!, yang pernah didukung oleh Kantor Presiden, adalah contoh lain dari mekanisme berbasis teknologi yang meningkatkan partisipasi publik.
Sayangnya, banyak dari contoh ini menunjukkan kurangnya institusionalisasi.
Inisiatif-inisiatif ini, meskipun awalnya dirayakan, sering kali dihentikan atau diubah mereknya, dan seiring terjadinya pergantian kepemimpinan, mereka disisihkan demi program baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan yang berbeda.
Pola ini mencerminkan tantangan yang lebih dalam dalam administrasi publik Indonesia: budaya diskontinuitas yang endemik. Inovasi digital diperlakukan lebih sebagai warisan pribadi daripada aset nasional. Oleh karena itu, mereka sangat rentan terhadap pergantian politik dan agenda yang berubah-ubah.
Kurangnya keberlanjutan ini semakin diperparah oleh silo institusional yang mengakar, di mana kementerian dan lembaga enggan bekerja sama atau berbagi data, dan oleh ego kepemimpinan yang sering memprioritaskan visibilitas jangka pendek daripada kesinambungan jangka panjang. Masalah ini bukan hal baru, namun tetap ada dan menghambat kemajuan.
Hasilnya adalah kondisi digital yang terus berubah di mana platform-platform terus diluncurkan, hanya untuk menghilang tanpa penskalaan, evaluasi, atau dampak yang berarti.
Kecenderungan untuk “memulai dari awal” ini memiliki konsekuensi nyata bagi kematangan digital Indonesia. Dalam Indeks Pengembangan E-Government Perserikatan Bangsa-Bangsa (EGDI), peringkat Indonesia meningkat dari posisi ke-107 pada 2018 menjadi ke-64 pada 2024.
Meskipun kemajuan ini patut diapresiasi, posisi Indonesia masih berada di belakang negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 53) dan Thailand (peringkat 55). Dalam Peringkat Daya Saing Digital Dunia oleh International Institute for Management Development (IMD), Indonesia naik dari posisi ke-56 pada 2020 menjadi ke-43 pada 2024, masih di belakang Malaysia (36) dan Thailand (37).
Namun, Indonesia terus tertinggal jauh di belakang Singapura, yang secara konsisten berada di peringkat tiga besar dunia. Meskipun menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, Indonesia belum berhasil menerjemahkan infrastruktur digital dan basis penggunanya menjadi ekosistem tata kelola digital yang kohesif dan berkinerja tinggi.
Kesenjangan antara potensi digital dan kinerja tata kelola ini mencerminkan inersia institusional. Meskipun memiliki lebih dari 212 juta pengguna internet, infrastruktur seluler yang kuat, dan populasi digital-native yang energik, layanan publik tetap tidak konsisten dalam penawaran digitalnya.
Warga sering kali harus menavigasi tambal sulam platform yang dikembangkan secara independen oleh berbagai lembaga, yang mengakibatkan duplikasi, ketidakefisienan, dan kelelahan digital. Alih-alih menyederhanakan akses, platform digital terkadang justru memperumit pengalaman warga.
Selain itu, transformasi digital sering kali diperlakukan secara sempit sebagai masalah adopsi teknologi daripada pembayangan ulang yang lebih luas tentang bagaimana institusi publik beroperasi. Akibatnya, sektor publik Indonesia tetap terjebak dalam apa yang bisa disebut “fase pilot abadi”; tahap inovasi yang tidak memiliki mekanisme tata kelola yang diperlukan untuk mencapai kematangan dan dampak.
Tanpa kerangka kerja nasional yang terintegrasi untuk mempertahankan dan memperluas inisiatif yang berhasil, risiko tata kelola digital dapat direduksi menjadi serangkaian eksperimen yang terputus-putus.
Untuk memutus siklus ini, Indonesia harus melakukan perubahan struktural.
Pertama, Indonesia harus menyematkan transformasi digital dalam perencanaan pembangunan nasional. Mengintegrasikan tujuan tata kelola digital ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan indikator kinerja yang terukur dan kerangka akuntabilitas yang kuat sangatlah penting.
Rencana ini harus menekankan kesinambungan, memastikan bahwa kemajuan tidak dihapuskan akibat transisi politik.
Kedua, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk menginstitusionalisasikan peran Chief Digital Officers (CDO) dalam kementerian dan pemerintah daerah. CDO akan bertindak sebagai pengelola strategi digital, memastikan keselarasan lintas sektor dan keberlanjutan lintas siklus pemilu.
Ketiga adalah promosi interoperabilitas dan standardisasi data lintas lembaga. Banyak ketidakefisienan dalam pelayanan publik berasal dari sistem informasi yang terisolasi dan tidak saling terhubung. Melalui standar umum dan infrastruktur bersama, layanan digital tidak hanya bisa dibuat lebih tangguh. Kerangka regulasi harus mendorong pergeseran ini, mencegah duplikasi, dan mewajibkan kolaborasi.
Namun, transformasi digital bukan hanya tentang institusi, tetapi tentang manusia. Pada intinya, ini adalah perubahan budaya dalam cara pemerintah berinteraksi dengan warga. Ini harus didorong oleh prinsip inklusivitas, responsivitas, dan akuntabilitas.
Alat digital seharusnya melayani warga, bukan sebaliknya. Ketika seorang petani di desa terpencil dapat memeriksa status pembayaran subsidi melalui ponselnya; ketika seorang ibu dapat mendaftarkan kelahiran anaknya tanpa harus mengunjungi tiga kantor yang berbeda; atau ketika pengaduan korupsi diproses secara transparan melalui portal online, itu bukan sekadar kenyamanan. Itu adalah fondasi kepercayaan terhadap pemerintah.
Indonesia telah membuat kemajuan dalam membangun infrastruktur digital yang diperlukan dan tidak kekurangan inovasi serta talenta. Tantangannya terletak pada tata kelola yang konsisten dan berpandangan ke depan yang berpusat pada kebutuhan warga.
Saat negara ini mendekati siklus politik baru, ia harus menahan godaan untuk memulai dari awal. Pemerintahan Prabowo Subianto dan setiap pemimpin daerah yang baru harus membangun di atas kemajuan yang telah ada dan tidak membatalkannya. Inovasi harus dipandang sebagai sesuatu yang evolusioner, bukan episodik.
Dekade berikutnya akan menjadi krusial bagi keberhasilan Indonesia dalam dunia digital. Negara ini dapat memimpin ruang tata kelola digital Asia Tenggara, tetapi kepemimpinan membutuhkan tidak hanya ide-ide berani, tetapi juga eksekusi yang disiplin.
Untuk berhasil, Indonesia harus berdamai dengan sejarah reformasi yang terfragmentasi dan berkomitmen pada kesinambungan daripada kebaruan, kolaborasi daripada silo, dan hasil daripada pencitraan.
Oleh: Dr. Vishnu Juwono, S.E., MIA. Dosen Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Sumber Siklus Vicious dari Tata Kelola Digital yang Terfragmentasi