Pilpres 2019 dan SDGs

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]Sejak ditetapkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 25, September 2015, telah banyak inisiatif yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan Agenda 2030.

Presiden Joko Widodo telah pula menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Agenda 2030 ini meski sangat ambisius tetapi memberikan panduan jalan secara detail mengenai apa dan bagaimana target pembangunan nasional harus dicapai.

Tulisan ini tak membahas apa saja target yang akan dicapai, tetapi memberikan narasi pada calon-calon presiden Indonesia 2019-2024, bagaimana memasukkannya dalam kampanye dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Momentum reformasi kelembagaan

Karena dibentuk oleh banyak aktor dan sektor dari sejumlah negara, SDGs sejatinya memiliki kelemahan dan kekuatan. Dengan 17 tujuan, 169 target, dan 241 indi- kator pembangunan yang harus dicapai sampai 2030, kita bisa mengatakan SDGs sebagai rencana yang sangat ambisius dan memiliki kompleksitas tinggi.

Selain itu, antarsatu tujuan dan target sangat terfragmentasi, tidak koheren dan kohesif satu sama lain. Dalam praktiknya, hal ini akan menimbulkan kesulitan koordinasi kebijakan antarsektor dan sistem administrasinya.

Sebagai kekuatan harus diakui SDGs adalah agenda pembangunan yang memiliki tujuan, target, dan indikator yang jelas sebagai dasar untuk membuat perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja di setiap negara.

Bahkan, hasil pencapaian kinerja setiap negara ini akan dilaporkan kepada PBB. Misalnya dalam tujuan pembangunan SDGs Nomor 1, pada 2030 harus tercapai pengentasan kemiskinan setengah dari jumlah orang miskin saat ini dalam semua dimensinya sesuai dengan definisi setiap negara.

Siapa pun presiden Indonesia yang terpilih pada 2019 akan dihadapkan pada tiga kesulitan utama mengelola pemerintahan dan pencapaian tujuan SDGs.

Pertama, perkembangan demokrasi yang sangat cepat dan luas telah menyebabkan fragmentasi kepentingan dan partai politik yang menuntut akomodasi politik di dalam pemerintahan.

Bisa jadi keberadaan struktur organisasi pemerintahan, yaitu kementerian/lembaga, akan sama atau mengalami proliferasi. Jika eksistensi kelembagaan pemerintahan tidak didesain berdasarkan kinerja tujuan pembangunan nasional, tetapi didasarkan pada kepentingan politik, maka akan menimbulkan fragmentasi struktur dan kebijakan nasional. Potensi inefisiensi dan ketidakefektivan pencapaian tujuan pembangunan sangat mungkin terjadi.

Kedua, dalam sistem pemerintahan yang bersifat desentralistik saat ini, kebijakan nasional untuk pembangunan tidak serta-merta bisa dilaksanakan di provinsi dan kabupaten/kota. Fragmentasi kepentingan koalisi politik di tiap level pemerintahan berpadu dengan ketiadaan instansi vertikal yang kuat di daerah, menyebabkan kesulitan integrasi kebijakan nasional di tingkat pemerintahan daerah.

Pemerintah pusat tidak memiliki instrumen paksa atas pemerintah daerah untuk menjamin kebijakan dan agenda pembangunan nasional bisa dimasukkan dalam kebijakan dan rencana pembangunan daerah.

Ketiga, kualitas birokrasi Indonesia saat ini masih belum sesuai dengan tuntutan kapabilitas, budaya, juga kemampuan perubahan yang diharapkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan pembangunan nasional.

Apa yang dibutuhkan untuk menjamin pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan bagi presiden terpilih nanti adalah integrasi horizontal dan vertikal dalam kebijakan dan struktur pemerintahan: yaitu keselarasan target dan indikator kinerja pembangunan dalam sebuah kebijakan yang terintegrasi, serta konsolidasi struktur organisasi kementerian/lembaga. Dengan kata lain, SDGs adalah momentum bagi presiden untuk melakukan rasionalisasi kabinet dan juga lembaga pemerintahan non-kementerian, serta proses bisnis pemerintahan secara fundamental.

Saat ini struktur organisasi pemerintah sangat hierarkis dan gemuk, komplikasi dan duplikasi fungsi yang sangat tinggi antar-unit pemerintahan, kultur ego sektoral yang kuat, proses dan alokasi penganggaran yang sektoral, diskoneksi data dan informasi dalam proses pengambilan keputusan, serta lemahnya keterkaitan antara program dan kegiatan dengan tujuan dan target pembangunan nasional. Jika hal ini tak dilakukan, bukan hanya agenda SDGs yang tidak tercapai, melainkan daya saing nasional Indonesia tidak akan meningkat atau bahkan akan menurun.

Integrasi horizontal dalam rangka menyiapkan kerangka kelembagaan SDGs ini harus menggunakan, pertama, pendekatan terintegrasi: bahwa keberadaan keahlian dan kepakaran setiap sektor harus dimanfaatkan sebagai keunggulan untuk mencapai tujuan pembangunan melalui joint project.

Kedua, hasil yang terintegrasi: bahwa setiap hasil kinerja pembangunan suatu kementerian/lembaga berkontribusi dalam tujuan dan target pembangunan nasional secara menyeluruh. Ketiga, proses yang terintegrasi: bahwa proses pelaksanaan program dan kegiatan melibatkan dialog sejumlah kementerian/lembaga.

Secara vertikal ada sejumlah kesulitan yang akan dihadapi presiden terpilih pada 2019 untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

Fragmentasi kebijakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota akan menimbulkan pembangunan yang tidak terkoordinasi. Asas pemerintahan desentralisasi yang tidak didukung mentalitas politik yang baik di daerah akan menyebabkan pengabaian tujuan dan target pembangunan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu, efektivitas pemerintah pusat akan terjamin jika presiden mampu memperkuat program pembangunan nasional dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang dilakukan Presiden Jokowi saat ini dalam pembangunan infrastruktur. Di samping itu, presiden harus memperkuat kapasitas kementerian dan lembaga untuk melakukan fungsi pengawasan pembangunan terhadap daerah.

Membangun kapabilitas ASN

Faktor lain dalam keberhasilan pembangunan berkelanjutan adalah kapabilitas dari aparatur sipil negara (ASN). Hasil survei Badan Kepegawaian Negara 2107 menunjukkan, jabatan pimpinan tinggi pratama (JPT pratama atau eselon II) yang memenuhi syarat kompetensi dan potensi jabatan manajerial hanya 8,84 persen. Sementara 48,6 persen JPT pratama tidak memiliki syarat kompetensi dan potensi jabatan manajerial, 11,2 persen harus memperoleh pengembangan diri untuk siap melaksanakan tugas.

Dengan komposisi kapabilitas yang rendah itu, tampaknya sulit bagi pemerintah mencapai berbagai target SDGs yang sudah ditetapkan. Kesulitan lain adalah faktor intervensi politik yang sangat tinggi dalam birokrasi. Politisasi politik dalam birokrasi berkaitan dengan biaya politik yang mahal dan telah menciptakan tumbuh suburnya budaya birokrasi korup dalam birokrasi.

Dengan kapabilitas yang rendah dan budaya birokrasi yang korup, tampaknya presiden terpilih 2019 akan sulit mewujudkan tujuan SDGs. Penulis mengusulkan agar siapa pun yang terpilih sebagai presiden tahun 2019, seyogianya melakukan perubahan sistem administrasi publik secara bersungguh-sungguh untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan.

Oleh Eko Prasojo
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI; Ketua Umum IAPA
sumber: https://kompas.id/baca/opini/2018/11/01/pilpres-2019-dan-sdgs/[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]