Tuduhan terbaru mengenai praktik korupsi di perusahaan minyak dan gas milik negara, PT Pertamina, kembali mencoreng sektor energi nasional. Kejaksaan Agung memperkirakan potensi kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun (US$11,87 miliar) akibat kesalahan pengelolaan dan praktik korupsi yang terjadi antara tahun 2018 hingga 2023.

Pengungkapan ini semakin menegaskan kegagalan tata kelola yang telah membayangi Pertamina selama beberapa dekade, memperkuat budaya patronase ekonomi yang telah mengakar sejak era Soeharto.

Akar dari krisis tata kelola Pertamina dapat ditelusuri kembali ke tahun 1970-an di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, seorang perwira tinggi Angkatan Darat yang mengubah Pertamina menjadi kekuatan ekonomi dan politik. Ia memanfaatkan pendapatan besar dari minyak untuk mendanai kepentingan militer, kampanye politik, hingga proyek sosial seperti pembangunan rumah sakit dan renovasi kantor kepresidenan.

Namun, kekuasaan finansial yang tak terkontrol ini justru memicu kesalahan pengelolaan dan minimnya akuntabilitas, hingga akhirnya Pertamina nyaris bangkrut dengan utang mencapai US$10 miliar. Meski Ibnu Sutowo dicopot pada 1976, praktik penggunaan Pertamina sebagai alat patronase ekonomi telah terlanjur mengakar (Crouch 1978; Robison 1990).

Keberangkatan Soeharto dari kursi kekuasaan pada 1998 dan dimulainya era reformasi seharusnya menjadi titik balik bagi sektor energi Indonesia. Namun, lebih dari dua dekade berlalu, Pertamina masih terperangkap dalam masalah yang sama. Meskipun reformasi telah dijanjikan berulang kali, perusahaan ini tetap menjadi alat politik, di mana posisi kepemimpinan lebih sering ditentukan oleh afiliasi politik ketimbang kompetensi profesional. Pergantian direksi terus terjadi, tetapi budaya patronase dan korupsi tetap lestari.

Salah satu upaya paling signifikan untuk memperbaiki tata kelola Pertamina terjadi pada 2014 ketika pemerintah membentuk Satgas Anti-Mafia Migas di bawah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, Sudirman Said. Satgas ini, yang dipimpin ekonom Faisal Basri, bertugas mengidentifikasi masalah sistemik dalam pengadaan dan distribusi BBM serta merancang reformasi.

Hasil investigasi mereka cukup mencengangkan: kurangnya investasi dalam pembangunan kilang minyak baru, proses pengadaan yang tidak transparan, serta ketergantungan yang tinggi pada impor BBM dengan harga mahal membuat Indonesia rentan terhadap eksploitasi. Salah satu pencapaian terbesar satgas ini adalah audit forensik oleh KordaMentha, sebuah firma investigasi internasional.

Audit tersebut mengungkap adanya penyimpangan dalam pengadaan BBM senilai US$18 miliar selama tiga tahun, yang berujung pada pembubaran unit perdagangan Pertamina yang kontroversial, Petral, pada 2015. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh skandal korupsi terbaru, langkah-langkah ini masih belum cukup untuk memberantas korupsi yang mengakar di Pertamina.

Skandal terbaru ini, yang diduga melibatkan pejabat tinggi Pertamina dan aktor swasta, menyoroti betapa sistemiknya korupsi di perusahaan tersebut. Kerugian negara berasal dari berbagai aktivitas ilegal, termasuk ekspor minyak mentah domestik (Rp 35 triliun), impor minyak mentah melalui perantara (Rp 2,7 triliun), impor BBM melalui perantara (Rp 9 triliun), pembayaran kompensasi (Rp 126 triliun), dan subsidi BBM (Rp 21 triliun).

Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan besarnya skala korupsi, tetapi juga menunjukkan betapa korupsi telah menjadi bagian yang terinstitusionalisasi dalam sistem Pertamina. Keterlibatan perantara dalam pengadaan BBM serta minimnya transparansi dalam proses tender menunjukkan bahwa kerentanan tata kelola di Pertamina masih jauh dari terselesaikan.

Yang membuat situasi ini semakin memprihatinkan adalah kesinambungan historisnya. Jaringan patronase yang terbentuk sejak era Ibnu Sutowo mungkin telah berevolusi, tetapi tak pernah benar-benar menghilang. Elite politik dan bisnis terus memanfaatkan Pertamina demi keuntungan pribadi, sering kali tanpa konsekuensi hukum.

Salah satu sosok yang dikabarkan memiliki pengaruh besar dalam Pertamina adalah taipan minyak Riza Chalid. Pengaruhnya terhadap Pertamina setidaknya sudah ada sejak 2008, ketika Petral terlibat dalam kesepakatan kontroversial untuk mengimpor 600.000 barel minyak Zatapi, yang diduga menyebabkan kerugian Rp 65 miliar. Meskipun sempat diselidiki, kasus ini akhirnya dihentikan karena kurangnya bukti yang meyakinkan. Namun, audit forensik KordaMentha kemudian menemukan adanya kerugian pengadaan senilai US$18 miliar, dengan perusahaan-perusahaan milik Riza diduga terlibat (Tempo, 2015).

Pengaruh Riza tidak hanya terbatas pada Pertamina. Ia juga terlibat dalam skandal “Papa Minta Saham,” yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Meskipun ada rekaman audio yang memperlihatkan negosiasi mengenai 11 persen saham Freeport—yang diduga atas nama Presiden Joko Widodo—kasus ini akhirnya dihentikan. Kejaksaan Agung saat itu beralasan adanya kesulitan dalam memanggil Riza untuk diperiksa, yang semakin memperkuat skeptisisme publik terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.

Perjuangan Indonesia dalam menghadapi korupsi tercermin dalam peringkatnya di Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International. Pada 2024, Indonesia hanya memperoleh skor 37 dari 100, menempatkannya di peringkat 99 dari 180 negara. Skor ini menunjukkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi, meskipun ada berbagai penangkapan tokoh penting dan reformasi institusional.

Kegagalan tata kelola yang terus berlanjut di sektor energi, terutama di Pertamina, berkontribusi besar terhadap rendahnya peringkat CPI Indonesia. Kurangnya akuntabilitas bagi tokoh-tokoh berpengaruh serta eksploitasi sumber daya negara untuk kepentingan pribadi semakin memperkuat anggapan bahwa Indonesia masih menjadi lingkungan berisiko tinggi bagi investor.

Kini, dengan Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat, komitmen terhadap reformasi kembali diuji. Menyelesaikan masalah tata kelola di Pertamina hanyalah salah satu bagian dari tantangan yang lebih besar. Yang tak kalah penting adalah reformasi sistem penegakan hukum yang lebih transparan, independen, dan tegas.

Industri minyak dan gas membutuhkan investasi modal besar serta teknologi mutakhir, yang sangat bergantung pada kepercayaan investor asing. Tanpa lingkungan hukum yang adil dan dapat diprediksi, Indonesia akan kesulitan menarik investasi yang diperlukan untuk membangun kembali sektor energinya. Penyelesaian kasus korupsi harus dilakukan secara cepat dan adil guna menunjukkan bahwa era impunitas telah berakhir.

Rangkaian skandal korupsi di Pertamina, ditambah dengan stagnasi peringkat CPI Indonesia, memberikan gambaran suram tentang tantangan yang dihadapi ke depan. Bayang-bayang patronase dan korupsi terus mengancam tidak hanya masa depan Pertamina, tetapi juga keamanan energi dan stabilitas ekonomi Indonesia.

Pemerintahan Prabowo memiliki kesempatan bersejarah untuk memutus siklus ini dengan menerapkan reformasi besar, memperkuat penegakan hukum, dan membangun budaya transparansi serta akuntabilitas. Tanpa tindakan yang tegas, Pertamina akan tetap menjadi simbol dari potensi Indonesia yang tak terpenuhi—sebuah perusahaan yang terbelenggu oleh hantu masa lalunya dan kegagalannya di masa kini.

Jika Indonesia benar-benar ingin mencapai kemajuan ekonomi dan kemandirian energi, maka warisan korupsi ini harus dihadapi secara langsung. Kepemimpinan Prabowo akan dinilai bukan hanya dari kemampuannya mereformasi Pertamina, tetapi juga dari komitmennya dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan transparan, yang mampu mengembalikan kepercayaan investor serta membuka jalan bagi Indonesia untuk mencapai kemandirian energi di masa depan.

Oleh: Dr. Vishnu Juwono, S.E., MIA.
Dosen Departemen Administrasi Publik FIA UI

Sumber: The Jakarta Post