FIA UI menyelenggaran Webinar Pajak Internasional: BEPS 2.0 dan Aspek Pajak Internasional dalam Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai salah satu dari rangkaian Dies Natalis FIA UI pada Jumat (18/3/2022) pada pukul 08.30 hingga 11.00 WIB.
Acara dimulai dengan sambutan dari Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal yakni Ibu Dr .Inayati, M. Si. Ibu Ina menyampaikan bahwa tema webinar kali ini merupakan tema yang semakin penting untuk dibahas karena di dunia telah terjadi berbagai perkembangan yang menimbulkan tantangan bagi seluruh otoritas pajak di seluruh dunia.
“Di Webinar ini, kita akan mengetahui bagaimana perspektif policy maker dan akademik mengenai kebijakan fiskal,” sambut Ibu Ina.
Acara ini dimoderatori oleh Bapak Wisamodro Jati, S.Sos., M. Int.Tax., M.H. atau akrab disapa Pak Jati. Pak Jati memperkenalkan setiap pembicara sebelum mempersilakan Ibu Suka untuk memulai materinya. Ibu Suska merupakan Analis Kebijakan Ahli Madya pada Pusat Kebijakan pendapatan Negara, Badan kebijakan Fiskal. Sebagai pembicara 1,beliau memulai sesi presentasi materinya dengan menjelaskan mengenai “Perkembangan Pillar Satu”.
Ibu Suska menjelaskan bahwa scope atau lingkup pengenaan dari pillar satu adalah MNEs dengan omzet konsolidasi melebihi EUR20 miliar dan laba di atas 10%. Namun, terdapat pengecualian untuk industri ekstraktif dan regulated financial services. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa nexus atau negara pasar yang berhak mendapatkan alokasi penerimaan adalah negara yang memiliki penjualan di negara pasar yakni EUR1 juta.
“Untuk metode alokasi adalah porsi 25% dari laba residual. Sementara untuk kepastian atau certainty menggunakan mekanisme early certainty dan penyelesaian dispute melalui mutual agreement procedures dan pembentukan pane. Terakhir, adalah implementasi melalui konvensi multilateral yang akan ditandatangani pertengahan 2022 dan implementasi efektif pada akhir 2023” jelasnya.
Kemudian, acara berlanjut dengan penyampaian materi oleh Pembicara kedua yakni Ibu Melani Dewi Astuti yang merupakan Fungsional Analis Kebijakan Ahli Muda, BKF. Ibu Melani dalam materinya menjelaskan mengenai pilar dua. Beliau menjelaskan bahwa pilar dua memiliki lingkup pengenaan yakni MNEs perusahaan multinasional memenuhi grup yang entitas konstituennya merupakan anggota MNE Group yang memiliki pendapatan tahunan EUR 750 juta atau lebih dalam Laporan Keuangan Konsolidasian Entitas Induk (UPE) UI dalam waktu sekurang-kurangnya dua dari empat tahun anggaran segera sebelum Tahun Anggaran yang diuji.
“Pengecualian terhadap entitas pemerintahan, organisasi internasional, organisasi nirlaba,
dana pensiun atau dana investasi, ditambah dengan pendapatan pengiriman internasional,” ujarnya.
Kemudian, acara dilanjut dengan dengan penyampaian materi oleh Dr. Ning Rahayu sebagai pembicara ketiga. Ibu Ning Rahayu adalah dosen Program S1, S2, dan S3 di Universitas Indonesia dan juga merupakan Ketua Senat Akademik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia. Beliau secara spesifik menjelaskan mengenai penerapan pilar 1 dan 2 di Indonesia. Ia menjelaskan bahwasanya penerapan pilar 1 di Indonesia menyebabkan ketentuan pemajakan atas transaksi ekonomi digital yang diatur secara unilateral dalam Undang-Undang no 2 tahun 2020, yakni pengenaan Pajak atas transaksi elektronik, maka konsekuensinya Pajak atas transaksi elektronik tersebut tidak dapat diterapkan ( khususnya untuk transaksi digital lintas batas.
“Sementara Untuk Pillar 2, Pajak minimum global merupakan sebuah sarana untuk melindungi basis pajak Indonesia, karena dengan adanya tarif pajak minimum tekanan untuk terlibat dalam kompetisi pajak dengan alasan daya saing akan berkurang, pajak minimum global pun dapat mereduksi peran tax haven, akibatnya skema transaksi menjadi lebih ringkas. Dalam konteks Indonesia, pajak minimum global akan berdampak pada perusahaan multinasional yang induk (UPE)nya berkedudukan di Indonesia atau perusahaan multinasional yang menjalankan operasinya di,” jelasnya.
Tak hanya sampai disitu, Ibu Ning Rahayu juga menyampaikan bahwa pilar 2 tidak sejalan dengan BEPS (Base Erosion And Profit Shifting) khususnya Action 5 (Harmful Tax Practice). Karena melalui pilar dua, perusahaan yang melakukan substantif ekonomi aktivitas dan mendapatkan insentif pajak, maka insentif pajak tersebut akan dikenakan pajak atau top up tax di negara domisili.
Usai penyampaian materi oleh ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Terdapat pertanyaan mengenai alokasi pembagian profit kepada negara sumber.
“Bagaimana mekanismenya pembagian profit kepada negara sumber yang tidak memiliki BUT?”tanyanya.
“Memang sekarang belum disepakati dan mungkin akan ada pembahasan lanjutan. Yang pernah dibahas, maka yang akan mengkoordinasi adalah Lead Tax Administration dimana UPE nya berada. Hal ini belum selesai dibahas dan disepakati. Namun, nantinya detail secara administrasinya akan di detailkan lagi,” jawabnya.