Hadi Poernomo, Ketua BPK periode 2009-2014, mengatakan bahwa integrasi NIK dan NPWP belum dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Bahkan integrasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini memunculkan potensi permasalahan lain, yaitu SPT milik wajib pajak yang seharusnya bersifat rahasia, namun saat ini dapat tersebar luas.

“Dasar hukum NIK adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. NIK ini sendiri dipakai oleh masyarakat untuk kegiatan penataan dokumen dan data kependudukan demi kepentingan pelayanan publik. Sementara NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai identitas untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya. Jadi kalau NIK ini berbicara tentang data kewarganegaraan dan kependudukan, sedangkan NPWP berbicara tentang data finansial,” kata Hadi.

Sehingga, kata Hadi, terdapat jurang perbedaan yang cukup besar antara keduanya. Selain fungsi, terdapat kontradiksi antara peraturan yang mengikat NIK dan NPWP tersebut. Dalam Pasal 34 UU KUP ditegaskan, SPT tahunan dilarang untuk disebarluaskan baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh tenaga ahli. Sedangkan dalam Pasal 44E UU HPP yang mengindikasikan bahwa data yang bersifat rahasia tersebut diduga dapat tersebar luas kepada pihak di luar Ditjen Pajak.

“Integrasi data NIK dan NPWP memperjelas bahwa terdapat permasalahan data yang sebenarnya telah diselesaikan dengan Bank Data Perpajakan melalui Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Namun, peraturan ini sepertinya tidak dimanfaatkan sebagaimana perintah Undang-Undang. Padahal data dalam Bank Data Perpajakan jauh lebih lengkap dari penyatuan NIK dan NPWP,” lanjut Hadi.

Hadi menjelaskan, misal penduduk di Indonesia memiliki lebih dari 32 identitas, antara lain identitas pribadi berupa NIK, Paspor, SIM, Nomor Rekening, dan lain sebagainya. NIK dan NPWP merupakan sedikit dari banyaknya data yang ada di Indonesia.
Menariknya adalah di dalam NIK sendiri terdapat 2 data yang tertaut di dalamnya, yaitu NIK itu sendiri dan Nomor Kartu Keluarga.

Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Universitas Indonesia (UI) mengatakan, kebijakan integrasi NIK dan NPWP ini lemah dalam metodologi kebijakan karena riset kebijakan yang terabaikan. Kebijakan perpajakan yang sebenarnya, kata Prof. Haula, memiliki arti yang lebih luas dari sekadar mengganti NPWP menjadi NIK atau menggunakan NIK sebagai NPWP.

“Undang-undang mengamanatkan perwujudan Single Identity Number untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik untuk menjamin kemandirian fiskal. Karena pajak adalah darah negara dan berbagai negara sudah mengarah pada kebijakan bank data perpajakan atau Single Identity Number (SIN). SIN ini bisa jadi instrumen administrasi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Harapannya pajak bisa mendorong mobilitas vertikal,” ungkap Prod. Haula.

Lebih lanjut, Prof. Haula menyatakan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan perpajakan karena kebijakan perpajakan yang baik jika tidak didukung dengan administrasi perpajakan yang baik akan menyebabkan masalah yang bukan dalam aspek yang teknis, namun aspek yang lebih substantif yaitu bagaimana pajak menjadi darah negara yang membuat negara bisa hidup, sehat, untuk memakmurkan rakyat adil dan merata.

“Tanpa SIN kita akan digilas roda zaman. Dengan Bank Data Perpajakan, Pemerintah seharusnya tidak lagi berkeluh kesah mengenai kekurangan data dan tax coverage karena semua pekerjaan itu dapat dilakukan oleh Bank Data Perpajakan dengan metode link and match. SIN bukan hanya sekadar reformasi administrasi tapi transformasi administrasi untuk mewujudkan kemandirian fiskal itu,” kata Hadi melanjutkan pemaparannya.

Sebagai informasi, hal tersebut disampaikan oleh Hadi dalam webinar bertajuk “Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah?” yang digelar di Auditorium EDISI 2020 Gedung M, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Depok pada Sabtu (3/6/2023) pagi. Acara ini digelar oleh Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare and National Resilience (POLTAX) Universitas Indonesia.