Pasang-Surut Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tak Lekang Dari Muatan Politik

Perjalanan pemberantasan korupsi dari masa kemerdekaan hingga saat ini mengalami pasang surut, terutama disebabkan penuh akan muatan politik yang menyebabkan berbagai kasus korupsi skala menengah maupun besar tidak secara tuntas terungkap.

Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Vishnu Juwono pada seminar ‘Pasang-Surut Sejarah Reformasi Tata Kelola dan Anti Korupsi di Indonesia’ yang diselenggarakan di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS) FISIP UI, Jumat (10/5/19).

“Selain itu, dari masa kemerdekaan hingga 2014, kelompok reformasi tidak dapat membawa reformasi tata kelola yang komprehensif, mendalam, dan berkelanjutan. Terutama di era Soeharto ya, yang terjadi malah konsolidasi sistem otoritarian,” ungkapnya.

Dalam acara tersebut, Dekan FIA UI Eko Prasojo menjelaskan dalam pidato pembuka bahwa terdapat tiga aktor utama dalam tindak pidana korupsi, yakni aparat penegak hukum, birokrat, dan politisi. “Tiga institusi ini saling berkelindan, saling mengikat,” ujarnya.

Eko menjelaskan, hubungan antara aparat penegak hukum, birokrat, dan politisi itu dapat dilihat dari berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, seperti politisi yang melakukan simbiosis dengan birokrasi, serta acapkali politisi tersebut mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum.

Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dalam acara tersebut memaparkan bahwa tidak ada pil ajaib yang bisa membuat korupsi menjadi hilang seutuhnya. “Sekadar contoh, Singapura punya badan atau biro pemberantasan korupsi seperti halnya KPK di Indonesia. Nyatanya, Singapura membutuhkan waktu 30-40 tahun untuk membangun lembaga pemberantasan korupsi yang akhirnya disegani. Sedikit sekali korupsi ada di Singapura, begitu pula di Hong Kong,” terang Erry.

Dalam acara yang sama, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli menambahkan bahwa masyarakat sipil memiliki peran yang cukup signifikan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. “Seperti kasus Gayus Tambunan, Setya Novanto, itu menunjukkan bahwa peranan masyarakat sipil, termasuk media, memiliki dampak yang cukup signifikan dalam pengentasan tindak pidana korupsi,” ujar Arif.

Diketahui, hadir dalam acara ini Dekan Fakultas Teknik UI Hendri D.S Budiono, Guru Besar FISIP UI Kamanto Sunarto, Wakil Dekan bidang Akademik FIA UI Haula Rosdiana, dan sejumlah tokoh lainnya.