Jakarta yang merupakan satu-satunya kota megapolitan di Indonesia sudah tidak lagi menyandang status Ibukota Negara Republik Indonesia. Meskipun demikian, nasib Jakarta tetap akan bertumbuh baik dari segi politik, kelembagaan, ekonomi, sosial dan lainnya. Saat ini, secara kelembagaan nasional, Jakarta adalah ruang kosong yang dapat diisi dengan tata kelembagaan yang lebih baik lagi. Sehingga, nasib Jakarta tanpa status ibukota menjadi sebuah momentum besar untuk memperbaiki segala hal yang ada di Jakarta. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si selaku Ketua Klaster DeLOGO FIA UI.

Dari segi politik, Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.Si. selaku dosen ilmu politik FISIP UI, menyebut bahwa salah satu dari sekian alasan pemindahan ibukota adalah memudahkan menata kembali Kota Jakarta. Dengan berkurangnya beban Jakarta, maka Jakarta bisa fokus pada penataan dan peningkatan kualitas kota yang selama ini menghadapi sangat banyak sekali masalah. Untuk itu, kata Drs. Andrinof, diperlukan kebijakan untuk mengatasi masalah utama di kota Jakarta yang dipermudah dengan berpindah Ibukota.

“Secara sosiologis, kelas menengah dan atas Jakarta dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun ke depan pasca pembenihan IKN secara resmi, akan tetap memilih tinggal di Jakarta karena pertimbangan kenyamanan, kemudahan, investasi, dan fasilitas yang ada di Jakarta. Selain itu, Jakarta tetap memiliki daya tarik yang kuat sebagai kota utama karena adanya faktor Diversity, Density, Design, dan Transit dengan penduduk kota lebih dari 12 juta jiwa,”kata Dr. Yayat Supriatna, MSP. selaku Pengamat Tata Kota.

Bersamaan dengan IKN Baru dan Jakarta ke;ak tidak menjadi Ibukota RI, terdapat kekosongan paying hukum kelembagaan Kota secara nasional yang mesti segera juga diisi dengan penetapan peraturan perundangan bagi kelembagaan Kota-kota di Indonesia, menurut Prof. Irfan Ridwan Maksum, MSi., sebagai ketua Klaster DeLOGO yang juga narasumber diskusi.

Sementara, Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc. selaku dosen FISIP UI, menyebut bahwa perlu sebuah langkah untuk membangun urban citizenship untuk membangun komunitas-komunitas di dalam masyarakat yang akan mempermudah tata kelola di Kota Jakarta saat sudah tak lagi menyandang status sebagai Ibukota Negara. Jakarta, kata Prof. Paulus, juga harus mere-organize RTRW menjadi kekuatan komunitas yang melalui itu akan memberikan pendidikan kepada masyarakat melalui komunitas yang ada.

Hal tersebut merupakan respon empat pembicara dalam acara diskusi interaktif akhir tahun yang membahas nasib DKI Jakarta setelah adanya kebijakan perpindahan ibukota yang diselenggarakan oleh klaster riset Democracy and Local Governance (DeLOGO) FIA UI. Acara yang berlangsung pada Kamis, 27 Oktober 2022 siang ini dimoderatori oleh Desy Hariyati, S.Sos, M.A dengan MC Debie Puspasari, MPA.

“Ada implikasi kewenangan, bisa juga muncul gagasan untuk mereform sistem kelembagaan. Tentunya hal ini bukan menjadi suatu masalah yang besar. Yang jadi isu yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengisi peluang yang muncul dengan adanya kekosongan kelembagaan di Jakarta. Pengosongan sebagai fungsi Jakarta memberi peluang untuk memperbaiki kualitas Kota Jakarta baik dari segi fisik, lingkungan, sosial, tata ruang, dll,” kata Andrinof.

Dari sisi kelembagaan dan kewenangan, Prof. Irfan menilai bahwa Jakarta kini menjadi bagian dari tata kelola NKRI yang berbentuk provinsi bukan ibukota. Provinsi tetap bertipikal Integrated Prefectural system (IPS). Kata Prof. Irfan, Jakarta-pun tetap satu tingkat otonomi jika belum dilakukan perubahan, Kab/Kota adalah perangkat/ bagian wilayah administratif provinsi, teritorial based sampai kelurahan.

“Tidak terlalu sulit menata masyarakat Jakarta ini jika dibangun dari komunitas-komunitas kecil dan dasar terlebih dahulu. Pasalnya, secara sosiologis semua masyarakat akan terikat pada komunitasnya baik karena kesamaan kepentingan, suaranya dapat didengar dalam satu komunitas, pengalasan sosial, maupun alasan-alasan lainnya,” tambah Prof. Paulus.

Andrinof Chaniago, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri PPN/ Kepala Bappenas RI (periode 2014-2015), menyebut skenario Jakarta ke depan tanpa adanya status Ibukota bergantung pada dua pilihan paradigma. Yakni paradigma di pemerintahan dimana jika publik lebih cenderung ke demokrasi dan desentralisasi maka ada dua otonomi atau otonomi double layer. Namun, jika memilih paradigma efektivitas manajemen, maka akan dipilih sentralistis yang satu layer.

“Jika nantinya Jakarta akan memilih menjadi dua tingkat otonom atau tetap pada satu layer, Jakarta tetap memiliki keunggulan atau kekhususan dibandingkan dengan kota lainnya. Harus difikirkan terobosan kelembagan bagi Jakarta yang hebat. Jangan sampai tidak sebanding dengan tuntutan megalopolitan, kelembagaan yang dibentuk kelak bagi Jakarta. Jangan membuat Gerobak lagi, harus kendaraan mercy. Hal ini tercantum dalam UU IKN dimana disebutkan bahwa Jakarta adalah daerah otonom khusus,” kata Prof. Irfan.

Dr. Yayat menerangkan bahwa saat jakarta tak lagi menjadi Ibukota Negara, Jakarta tetap memiliki kewenangan khusus untuk mengintegrasikan sistem transportasi, perumahan dan permukiman, lingkungan dan mencegah bencana, wisata, dan investasi antar wilayah Jabodetabek.