Menelisik Pembelajaran Dari Berbagai Negara Asia Menangani Governansi Saat Pandemi dan Post-Pandemi COVID-19

Klaster riset PGAR Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) berkolaborasi dengan Asian Group for Public Administration (AGPA) menyelenggarakan AGPA Virtual Talk Show pada Kamis (9/9/21) bertajuk ‘Public Administration Amidst and Post-Pandemic COVID-19 (Leading to Agile and Adaptive Governance)’.

Pada acara ini berbagai penanganan persoalan COVID-19 melalui kacamata administrasi publik dibincang oleh para pembicara dari beberapa negara di Asia yaitu Prof. Agus Pramusinto (Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara/KASN), Prof. Rosa Minhyo Cho (Sungkyunkwan University, Korea), Prof. Dr. Alex Bello Brillantes Jr. (University of the Philippines, Filipina), dan Prof. Masao Kikuchi (Meiji University, Jepang). Talk show dipandu oleh Prof. Eko Prasojo selaku Presiden AGPA sekaligus Ketua Klaster Riset PGAR dan Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA UI).

Diskusi hangat dimulai dengan menggambarkan kondisi pandemi COVID-19 di negara masing-masing serta kapasitas pemerintah dalam merespon kompleksitas masalah yang terjadi saat pandemi serta perubahan signifikan yang terjadi dalam tata kelola pemerintah dan keterlibatan berbagai pihak.

Prof. Alex dari Filipina menjelaskan kondisi pemerintah dan penyelenggaraan birokrasi Filipina harus menyesuaikan secara cepat. Menurutnya, penggunaan teknologi menjadi hal penting bagi penyelenggaraan pemerintah Filipina untuk menyesuaikan berbagai kebijakan.

“Selain itu, situasi policy development yang semakin cepat membuat proses inkremental digunakan karena keterbatasan informasi dalam pengambilan kebijakan. Keterlibatan masyarakat dalam menangani pandemi ditunjukkan dengan nilai traditional untuk saling membantu atau yang disebut community pantries,” ujar Prof. Alex.

Di sisi lain, Prof. Masao Kikuchi dari Jepang menggambarkan sistem desentralisasi yang diterapkan pemerintah Jepang untuk menangani pandemi COVID-19. Kesiapan Jepang dalam merespons pandemi dilakukan dengan membuat institusi baru terkait dengan teknologi dan informasi untuk merespons COVID19.

“Ada hubungan yang erat antara pembuat kebijakan dan expert atau researcher dalam proses pengambilan kebijakan di masa COVID-19,” ungkap Prof. Masao.

Lain halnya dengan kondisi Jepang, Prof. Rosa Minhyo Cho menggambarkan pemerintah Korea Selatan menitikberatkan pada sistem sentralisasi, yaitu pemerintah pusat yang banyak mengambil kontrol untuk menagani COVID-19.

“Korea dapat menunjukkan agile adaptive governance. Kesuksesan Korea Selatan ditunjukkan dengan membentuk agensi yang otonom untuk merespons masalah pandemi serta banyak melakukan kolaborasi dengan expert. Pemerintah Korea juga menggunakan basis teknologi dalam menyesuaikan birokrasi pada masa pandemi. Kemudian, masyarakat juga terlibat dengan akses dan transparansi yang tinggi terhadap informasi publik mengenai COVID-19,” terang Rosa.

Di sisi lain, Prof. Agus Pramusinto menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia mengalami banyak perubahan signifikan pada pelayanan publik. Pemerintah berbasis teknologi menjadi keharusan dalam pelayannan publik, karena tidak adanya opsi lain dalam masa COVID-19.

“Hal ini menjadi peluang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam penggunaan teknologi. Selain itu, Indonesia juga perlu evaluasi terhadap dampak dari penggunaan teknologi dan digitalisasi terhadap publik,” jelas Prof. Agus.

Di akhir diskusi, Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. selaku moderatur menutup dengan konklusi bahwa digitalisasi di pemerintahan memiliki peran penting dalam mengelola COVID-19. Governansi digital merupakan faktor utama dalam kesuksesan dalam pengembangan kebijakan, bukan hanya saat namun juga pasca era pandemi.

“Ada juga beberapa perubahan dan dinamika dari relasi antara pusat dan lokal. Saya berharap kita semua dapat belajar melalui pengalaman dan ilmu yang sudah dibagikan serta berkontribusi dalam praktik administrasi publik di negara masing-masing,” tutup Prof. Eko.

Diketahui, kegiatan ini dihadiri oleh peserta yang berasal dari negara Filipina, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan, yang berjumlah 300-an orang.