SEOUL, KOREA SELATAN. Banyak negara dalam birokrasi berpatokan pada negara-negara Barat, walau kadang berbenturan dengan kearifan lokal. Akan tetapi, ada beberapa negara di Asia yang menerapkan birokrasi sesuai dengan nilai-nilai budaya-nya sendiri. Hal ini berhasil diterapkan di beberapa negara Asia di antaranya Filipina dan Korea Selatan, serta membentuk keunikan tersendiri dalam mendorong reformasi administrasi.

Kesuksesan reformasi sektor publik di negara Asia ini menjadi topik penelitian yang diketuai oleh Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.Publ. Riset dilakukan dengan fokus pada tujuh variabel utama yang dinilai paling berkontribusi terhadap terbentuknya non-western public administration, yaitu leadership, public value, public trust, law enforcement, role of CSO, policy transfer and digital governance.

Baru-baru ini tim peneliti yang dinaungi Klaster Policy, Governance, and Administrative Reform (PGAR) melakukan kunjungan ke Korea Selatan pada 17-20 September 2018. Hibah penelitian yang berbasis Kompetensi-Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) ini melakukan observasi dan wawancara dengan profesor dari Sungkyunkwan University (SKKU), Anggota Kongres oposisi pemerintahan Korea Selatan, dan salah satu Direktur Kementerian Luar Negeri.

“Dalam observasi ini kami menemukan Korea Selatan mempunyai virtual kelembagaan. Mereka memilih dan memilah model administrasi publik sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka,” kata Defny, salah satu anggota peneliti yang juga Dosen Administrasi Negara.

Selain itu dalam penelitian ini terlihat nilai-nilai konfusianisme di Korea masih cukup tinggi sehingga terjadi hierarki yang cukup tinggi dimana terbentuk kelas sosial antara senior dan junior, termasuk dalam konteks organisasi sektor publik. Menurut anggota riset lainnya Desy Hariyati, MA meskipun pencapaian ekonomi dan electronic government di Korea sangat tinggi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah cukup rendah karena jauhnya hubungan antara pemerintah dan masyarakat.

Lebih lanjut, pada 26-31 Agustus 2018, tim mendapatkan temuan menarik lainnya di Filipina. Model kelembagaan yang mengusung politik dinasti, menjadi warna tersendiri bagi katalisator reformasi administrasi. Namun, politik dinasti ini malah sarat dengan performa sehingga mendorong tercapainya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebuah hal menarik, dimana nepotisme bisa berada dalam satu kotak bersama dengan performa.

“Secara umum, karakteristik di Filipina menunjukkan kemiripan dengan public sector reform di Indonesia. Yang cukup membedakan adalah peran Civil Society Organisation (CSO) yang cukup kuat dibandingkan dengan CSO di Indonesia. Peran CSO ini juga menjadi pembeda dengan public sector reform di Korea,” kata Desy.

Menurutnya, penelitian ini juga penting bagi FIA yang memiliki target untuk mengembangkan platform Asian Public Administration. “Mudah-mudahan FIA bisa menjadi leading kelembagaan di Indonesia,” katanya. Ia berharap bahwa timnya dapat membentuk platform tersebut pada 2021.

Tahun depan, observasi dan wawancara ini diharapkan dapat dilanjutkan ke Thailand dan Malaysia. Selain itu, tim Prof. Eko juga berharap dapat melanjutkan survei ke Korea Selatan. Adapun tim peneliti ini terdiri dari Prof. Dr. Eko Prasojo mag.rer.Publ., Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si, Nidaan Khalifan, M.A., Dr. Ima Mayasari, S.H., M.H , Desy Hariyati, MA, Defny, S.Sos, MPM, Dr.phil. Reza fathurrahman, MPP, Fikri Akbarsyah Anzah, M.Kom, Marcel Angwyn, S.I.A, dan Julyan Ferdiansyah, S.I.A. (MI)