Aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia yang masih kerap kali terjadi membuktikan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih belum maksimal untuk mencegah terorisme. Karenanya, demi mencegah terjadinya aktivitas terorisme, pemerintah harus melakukan kolaborasi tidak hanya antar lembaga/kementrian tetapi juga dengan aktor non pemerintah seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.

Hal tersebut disampaikan oleh Stanislaus Riyanta dalam promosi doktor di bidang Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dengan judul disertasi “Model Tata Kelola Kolaborasi dalam Pencegahan Terorisme di Indonesia” pada Selasa, 28 Juli 2022 siang.

“Perkembangan radikal dan terorisme sudah berkembang bahkan sudah sampai ke tatanan politik, untuk itu perlu mencegahnya dengan kolaborasi dengan berbagai sudut pandang salah satunya adalah ilmu administrasi yang efektif untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat,” jelasnya.

Dalam pemaparannya, Stanislaus menyampaikan bahwa keterlibatan aktor non pemerintah adalah hal yang penting untuk mencegah upaya radikalisme karena unsur yang pertama kali bisa melakukan deteksi dini terkait radikalisme dan terorisme adalah masyarakat. Selain itu, jika masyarakat mempunyai pemahaman yang kuat terkait ancaman radikalisme dan terorisme, maka kemauan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan perlawanan terhadap radikalisme bisa muncul dan berkembang.

Penelitian Stanislaus menghasilkan beberapa fakta menarik yang menjadi penyebab kolaborasi dalam pencegahan terorisme di Indonesia masih belum optimal. Di antaranya adalah adanya pemahaman yang belum sama antar pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi tersebut.

“Temuan lainnya adalah pemahaman dan kapasitas petugas pemerintah terkait pencegahan radikalisme dan terorisme dari pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi yang masih kurang. Masalah lainnya adalah persoalan anggaran, dan dasar hukum bagi pihak (selain BNPT) untuk terlibat dalam pencegahan terorisme, yang dianggap belum kuat.”.

Disisi lain, pencegahan terorisme di berbagai daerah dinilai cukup baik sebagai contoh adalah pencegahan terorisme terjadi di Jawa Tengah. Stanislaus menyebutkan bahwa leadership yang tegas dari Gubernur Jawa Tengah membuat ruang gerak radikalisme terutama yang terjadi lewat lembaga pendidikan dapat ditekan. Selain itu hubungan antar pihak yang terlibat dalam pencegahan terorisme di Jawa Tengah yang dikelola lewat Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) dapat menjadi rujukan daerah lain.

“Selain pemerintah dan masyarakat secara umum, keterlibatan tokoh agama juga menjadi tokoh yang menjadi kunci untuk mencegah terorisme dan radikalisme. Terdapat kemungkinan skeptis dalam masyarakat mengenai aksi terorisme dan radikalisme. Untuk itu, yang perlu disadarkan tidak hanya pelaku aksi teror melainkan pemerintah serta seluruh masyarakat,” jelasnya.

Stanislaus menyampaikan bahwa aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia masih terjadi karena beberapa faktor yakni program pemerintah Indonesia yang dinilai kurang tepat sasaran untuk penyelesaian masalah terorisme, pelibatan pihak lain tidak disertai dengan kecukupan dana dan kompetensi, serta adanya perbedaan pemahaman mengenai terorisme dan radikalisme di berbagai pihak pemerintah dan non pemerintah.

“Collaborative governance menjadi pendekatan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan terorisme dan radikalisme di Indonesia. Collaborative governance memungkinkan terbentuknya dialog awal yang aman untuk menyelesaikan terorisme secara bersama,” ungkapnya.

Dalam rekomendasinya, Stanislaus menyebut kolaborasi antara pemangku kepentingan utama dalam pencegahan terorisme yaitu BNPT dengan pihak lain harus dilengkapi dengan anggaran, indikator keberhasilan kerja dan target yang jelas. Selain itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi, termasuk masyarakat, agar kolaborasi dalam pencegahan terorisme tersebut dapat optimal

Acara sidang promosi doktor ini, Stanislaus berhasil menjadi doktor dari Fakultas Ilmu Administrasi yang ke 14 dalam bidang Ilmu Administrasi dengan predikat cumlaude.

Sebagai informasi, Ketua sidang promosi doktor kali ini adalah Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., MM. Sedangkan promotor dari Stanislaus adalah Prof. Dr Amy S Rahayu, M.Si, dan kopromotornya adalah Dr. Benny Jozua Mamoto, S.H., M.Si. Seme. Adapun penguji sidang promosi doktor Stanislaus adalah Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si; Lisman Manurung, M.Si., Ph.D; Dr.Phil. Reza Fathurrahman, MPP; Prof. Dr. Muhammad A.S Hikam; Dr. Fibria Indriati Dwi Liestiawati, M.Si.