Depok, 11 Juni 2025 – Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) kembali menggelar serial kedua dari Brown Bag Discussion (BBD) dengan topik reflektif seputar implementasi multi-level governance dalam konteks 25 tahun desentralisasi di Indonesia. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara dua klaster riset FIA UI, yakni Public Governance and Administrative Reform (PGAR) dan Democracy and Local Governance (DeLOGO).
Acara ini berlangsung di Smart Class lantai 3 FIA UI dan menghadirkan narasumber, antara lain Dr. Herman Suryatman, M.Si., Sekretaris Daerah Jawa Barat, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., Presiden Institut Otonomi Daerah serta Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar FIA UI.
Prof. Dr. Eko Prasojo Mag.rer.publ selaku Ketua Klaster PGAR FIA UI menekankan bahwa BBG hari ini merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam rangka 25 tahun desentralisasi di Indonesia berdasarkan implementasi UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam diskusi, berbagai isu krusial seputar relasi pusat dan daerah mengemuka, seperti ketidakseimbangan kewenangan, koordinasi, dan keuangan antar level pemerintahan, hingga hambatan implementasi program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Dr. Herman menyoroti pentingnya keseimbangan pendekatan rasional dan nilai-nilai lokal dalam pembangunan.
“Seperti pepatah Sunda batu turun keusik naek yang dimaknai sebagai semangat gotong royong antara pusat dan daerah jika pusat turun satu langkah, maka daerah harus naik satu langkah, filosofi ini diterapkan di Sumedang dalam mendorong transformasi menuju digital government,” Ujar Dr. Herman.
Dr. Herman juga menyampaikan bahwa meskipun dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, Sumedang tetap mampu menunjukkan hasil terbaik dalam penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), sehingga menjadi contoh keberhasilan daerah dalam versi dan konteksnya masing-masing.
Sedangkan Prof. Irfan mengkritisi praktik sentralisasi terselubung yang justru melemahkan peran provinsi sebagai perpanjangan tangan pusat.
“Pemerintahan multi-level saat ini dinilai belum efektif dan belum ideal karena tidak berjalan dalam satu frekuensi. Salah satu persoalan utama adalah peran ganda provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wakil pemerintah pusat, namun tanpa dukungan anggaran dan perangkat dari pusat,” Jelas Prof. Irfan.
Selain itu, terjadi inkonsistensi dalam koordinasi, seperti pengabaian peran gubernur dan arahan langsung dari pusat ke bupati/walikota. Faktor lain adalah politik lokal, seperti kasus gubernur di Sulawesi yang ditolak oleh camat atas arahan walikota. Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan multi-level belum mampu mendukung tercapainya tujuan pelayanan dan kesejahteraan rakyat secara maksimal.
Sementara itu, Prof. Djohermansyah menekankan bahwa otonomi daerah seharusnya memungkinkan diferensiasi kebijakan dan pelaksanaan, bukan menyeragamkan semuanya atas nama efisiensi pusat.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya revisi UU 23/2014 sebagai momentum penyelarasan struktur pemerintahan dan penguatan desentralisasi substantif. Peserta menyepakati bahwa tantangan implementasi desentralisasi bukan hanya pada desain kebijakan, tetapi juga pada political will, konsistensi perencanaan, dan keberanian daerah untuk berinovasi.
Melalui forum ini, FIA UI mendorong terbentuknya ruang dialog dan kontribusi akademik terhadap kebijakan, serta memastikan bahwa reformasi desentralisasi tidak berjalan mundur, melainkan semakin memperkuat demokrasi lokal dan kesejahteraan masyarakat.