FIA UI Tawarkan Model Hutan Privat sebagai Solusi Bencana Alam

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]DEPOK. Sejumlah kejadian bencana yang terjadi beberapa waktu lalu termasuk banjir di Jakarta dan tanah longsor di Puncak, Bogor telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya konservasi terhadap kawasan hutan di wilayah hulu sungai. Apalagi saat ini hutan lindung di kawasan Puncak seluas 1.577 hektar telah mengalami perubahan fungsi dimana 56% untuk perkebunan dan 20% untuk pemukiman warga. Adapun luas hutan konservasi yang mengalami alih fungsi lahan seluas 409 hektar, dimana 337 hektar menjadi perkebunan dan 71 hektar menjadi pemukiman. Alih fungsi lahan menjadi penyebab longsor di kawasan sehingga menyebabkan kawasan Puncak tidak memiliki ruang untuk menampung air.

Hal inilah yang menggelitik tim pengabdian masyarakat kajian isu strategis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dipimpin Teguh Kurniawan melakukan kajian mengenai “Model Kebijakan Hutan Privat untuk Merehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Hulu Sungai Ciliwung.” Dengan studi kasus Model Pengelolaan ‘Hutan Organik’ di Megamendung. Tim ini melakukan studi mengenai “Hutan Organik” di Kawasan Megamendung yang merupakan bentuk nyata dari Hutan Privat yang telah dikelola sejak tahun 2001.

“Hutan Organik di Megamendung berasal dari inisiatif masyarakat, diinisiasi oleh Bambang Istiawan dan istrinya dalam upaya rehabilitasi lahan kritis. Mereka melakukan aktivitas untuk merehabilitasi lahan kritis secara organik tanpa bahan kimia seperti pestisida,” kata Teguh. Bambang membiarkan pohon tumbuh secara alami setelah ditanam. Komunitas kecil inipun berhasil, luas lahan yang tadinya hanya 3000 meter persegi, saat ini sudah menjadi 27 hektar.

Menurut Teguh ada 4 kunci keberhasilan Hutan Organik dalam menjalankan inisiatifnya. Pertama, kesukarelaan yang didorong oleh passion sehingga mau menggunakan uang pribadi untuk memperoleh tanah dan kemudian menanam pohon di tanah yang telah dikuasai. Kedua, jaringan hubungan yang baik dengan berbagai kalangan. Ketiga, penggunaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kerjasama dengan beberapa akademisi. Keempat, belajar dari alam dan kemudian memilih metode penanaman menggunakan pohon-pohon yang cepat tumbuh, kombinasi penanaman, metode organik dan penanaman pohon endemik

Teguh mempresentasikan risetnya di The 3rd International Conference on Climate Change yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada 27-28 November 2018. Temuan risetnya juga melihat sejumlah hambatan yang perlu diatasi serta membutuhkan dukungan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pertama, insentif ekonomi dalam bentuk kemudahan dan pengurangan biaya untuk memperoleh sertifikat kepemilikan tanah. Kedua, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan juga dibutuhkan untuk menghasilkan penanganan dan pengelolaan terbaik. Dalam kasus rehabilitasi lahan kritis di wilayah sungai Ciliwung hulu, kolaborasi penting dan mendesak harus dilakukan adalah kolaborasi yang melibatkan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang merupakan daerah hilir. (MI)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]