Permasalahan-permasalahan faktual industri fintech P2P lending dalam 3 tahun terakhir, antara lain: adanya kenaikan tingkat wanprestasi pinjaman (TWP) atau NPL, jumlah penyelenggara fintech P2P lending yang terus menurun, jumlah pengaduan konsumen yang selalu meningkat signifikan, adanya peningkatan risiko lain selain risiko kredit yaitu risiko operasional, belum memadainya regulasi arsitektur keuangan terkait fintech P2P lending dan baru ada 2 regulasi yaitu POJK No.77/2016 dan SEOJK No.18/2017.

Pernyataan pembuka tersebut disampaikan Dr. M. Fahmi Arkanuddin, SE, MM, MA, pada sidang promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Indonesia, Jumat (08 Juli 2022).

Penjelasan berikutnya disampaikan bahwa ekosistem fintech berdasarkan taksonomi dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi yaitu ekosistem fintech vertikal dan ekosistem fintech horizontal dan menjaga stabilitas ekosistem fintech P2P lending sangat penting dalam upaya mempertahankan kesinambungan bisnis ini di masa mendatang. Stabilitas ekosistem fintech P2P lending yang harus dijaga antara lain stabilitas ekosistem tanpa goyangan atau no-oscillation stability dan stabilitas ekosistem ketahanan atau stability-resistence. No-oscillation stability, dijaga dari goyangan elemen-elemen internal ekosistem fintech P2P lending yang terdiri atas 7 (tujuh) elemen yaitu (i) start-ups fintech; (ii) government; (iii) IT developers; (iv) fintech customers; (v) traditional financial institution, di mana ada 2 (dua) tambahan elemen yaitu: (i) credit insurance institution dan (ii) fintech consumers protection agency. Sementara itu stability resistance, dijaga dari elemen-elemen eksternal ekosistem fintech P2P lending.

Promovendus menjelaskan bahwa elemen-elemen eksternal tersebut yang berpotensi mempengaruhi stabilitas ekosistem fintech P2P lending adalah risiko dan regulasi arsitektur keuangan. Kedua variabel tersebut sangat menarik untuk diangkat dalam penelitian mengenai Pengaruh Risiko dan Regulasi Arsitektur Keuangan Terhadap Ekosistem Fintech P2P Lending Indonesia, di mana secara garis besar penelitian ini, memiliki 2 (dua) tujuan, yaitu: (i) Menganalisis hubungan dan pengaruh antara variabel risiko, variabel regulasi arsitektur keuangan dan variabel ekosistem fintech; (ii) Menganalisis risiko-risiko mendasar dari industri fintech P2P lending Indonesia.Hasil disertasinya tersebut dipresentasikan dalam sidang promosi doktor di bidang Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) pada Jumat, 8 Juli 2022 siang secara hybrid (daring dan luring).

Signifikansi penelitian secara teoritis untuk mengkonfirmasi teori ekosistem fintech dan mengaplikasikan teori risk-based regulation (RBR) atau regulasi berbasis risiko pada industri fintech P2P lending. RBR merupakan gabungan antara teori regulasi dengan teori risiko. Signifikansi penelitian secara praktis adalah meletakkan landasan pada pengembangan penelitian lanjutan untuk penerapan konsep ecosystem based risk management, dan konsep RBFR (risk based fintech rating), di mana pada industri perbankan sudah menerapkannya dengan konsep RBBR (risk based bank rating), dengan pendekatan RGEC (Risk Profile, Good Corporate Governance, Earnings dan Capital) dan Industri fintech P2P lending bisa dimulai dengan pendekatan Risk and Capital, dan menerapkan secara praktis 2 (dua) elemen baru pada ekosistem fintech, yaitu credit insurance institution dan fintech consumers protection agency.

Berkenaan penelitian ini, diperkuat dengan kajian yang telah dilakukan oleh peneliti dari luar terkait dengan hubungan antar variabel, seperti hubungan antara variabel risiko dengan regulasi diteliti oleh Atsuyoshi Takeda & Yoshihiro Ito (2021) dan Pan Gongsheng (2021). Hubungan variabel risiko terhadap ekosistem fintech pernah diteliti oleh Chari Krishnan (2020) dan Carmen Leong, Barney Tan, Xiao Xiao, Felix Ter Chian Tan, Yuan Sun (2017). Hubungan variabel regulasi terhadap ekosistem fintech pernah diteliti oleh Diego Fernández & Santiago Eraso Lomaquiz (2019).

Fahmi menjelaskan bahwa saat ini fintech P2P Lending merupakan industri yang berkembang pesat dengan segala manfaat, peluang, dan tantangan yang ada serta dengan adanya dukungan internet, smartphone, dan social media yang semakin masif yang membuat semua orang semakin mudah melakukan akses platform digital-fintech P2P lending.

Lebih lanjut, Fahmi memaparkan bahwa penelitian ini mengintegrasikan teori sistem fintech horizontal dan vertikal dan mengkombinasikan dengan elemen ekosistem fintech dengan tambahan dua elemen penting.

Hasil penelitian disertasi Fahmi yakni dilihat dari perspektif ekosistem fintech, risiko memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap regulasi arsitektur keuangan. hal ini menunjukkan bahwa penerbitan regulasi dapat menjadi salah satu cara dalam memitigasi risiko. Selain itu, pada industri fintech P2P lending, resiko memiliki pengaruh signifikan terhadap ekosistem fintech.

Secara tataran regulasi fintech P2P Lending, regulasi arsitektur keuangan berpengaruh tidak signifikan. Kemudian, risiko dan regulasi arsitektur keuangan secara bersama-sama dan simultan berpengaruh signifikan terhadap ekosistem fintech,” ujar Fahmi.

Selanjutnya, Fahmi menjelaskan bahwa risiko mendasar fintech P2P Lending antara lain resiko kredit, resiko operasional, resiko likuiditas, resiko reputasi, resiko pandemik-COVID-19, sebagai salah satu jenis risiko yang ditambahkan oleh peneliti. Implikasi dari hasil penelitian ini, kata Fahmi, yakni implikasi terhadap rekonstruksi konsep elemen ekosistem fintech dari Lee & Young (2018), dari 5 elemen menjadi 7 elemen.

“Implikasi terhadap risiko yaitu perlu upaya terarah dan sistematis dari para pelaku industri fintech P2P Lending dalam memitigasi risiko yang mendasar agar dapat dikelola dengan baik. Implikasi regulasi arsitektur keuangan dengan memperbanyak regulasi arsitektur keuangan dengan menyempurnakan regulasi yang ada dan menerbitkan regulasi yang belum ada sesuai kebutuhan industri fintech,” pungkasnya.

Di akhir uraian, Fahmi menyatakan bahwa ketidakstabilan ekosistem fintech merupakan jawaban permasalahan faktual yang telah diuraikan di awal. Fahmi menyarankan agar pengembangan penelitian di masa mendatang, dapat diarahkan ke konsep ecosystem-based risk management, untuk memperkuat stabilitas ekosistem fintech dan konsep risk based fintech rating atau RBFR dengan pendekatan risk and capital, untuk memperkuat start-up fintech, selain itu juga perlu memperkuat stabilitas ekosistem dengan mengembangkan 2 (dua) elemen penting, yaitu: credit insurance institution dan fintech consumers protection agency, saran lain seperti perlu dilakukan penilaian tingkat kesehatan industri fintech P2P lending, sehingga perusahaan penyelenggara tidak rentan bila menghadapi permasalahan atau risiko bisnis dan terakhir perlu memperkuat permodalan perusahaan penyelenggara fintech P2P lending (start-up fintech), agar memiliki kekuatan apabila menghadapi risiko atau permasalahan internal

Usai penjelasan disertasi, acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian pertanyaan maupun sanggahan dari tim penguji. Promotor pada sidang promosi ini Prof. Ir. Bernardus Yuliarto Nugroho, Ph.D,MSM, menjelaskan bahwa dedikasi promovendus dalam menyelesaikan disertasinya.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan acara pelantikan Mohammad Fahmi Arkanuddin menjadi doktor dari Fakultas Ilmu Administrasi yang ke 17 dalam bidang Ilmu Administrasi dengan yudisium cumlaude.