Mengelola Sampah di Depok, Rezeki di Tengah Pandemi

Nursiti (38) terlihat sibuk memilah sampah plastik yang ada di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat. Meski sudah memilah antara sampah anorganik dan organik, masih saja ada sampah yang dimasukkan tidak pada tempatnya. Sampah anorganik terutama botol plastik dikumpulkannya pada sebuah karung. Jika sudah penuh, ia akan membawanya di bank sampah yang ada di wilayahnya.

Hasilnya lumayan, dari botol plastik yang dikumpulkannya itu, dia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 50.000 setiap bulan. Sedangkan untuk sampah organik, dia kumpulkan pada lubang resapan biopori sebagai tempat penampungan di depan rumahnya. Pupuk kompos yang dihasilkan tersebut dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman obat seperti jahe, kunyit, sambiloto yang ada di rumahnya.
Tanaman obat tersebut “naik daun” di tengah pandemi Covid-19 karena terbukti ampuh meningkatkan imunitas tubuh.

Nursiti menambahkan pemilahan sampah yang dilakukannya tersebut berawal dari program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Ia mendapatkan pelatihan singkat mengenai pemilahan sampah.
“Tak hanya mendapatkan uang tambahan dari botol plastik, tetapi juga dari pengolahan sampah organik. Ke depan, kami juga akan dilatih mengenai pembuatan minuman dari tanaman obat,” kata dia.

Dengan demikian, dapat meningkatkan nilai jual sekaligus membantu ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi.

Ketua Peneliti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eva Andayani, mengatakan sepanjang pandemi Covid-19 terdapat peningkatan sampah hingga 100 ton di Kota Depok setiap harinya.

Melihat kondisi tersebut, dia dan tim bersama dengan para kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Delima RW 011 Bedahan, Sawangan, Depok memberikan pelatihan. Selain pemilahan sampah botol plastik, juga diberikan pelatihan pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan lubang biopori milik warga.
“Pupuk dari pengolahan sampah tersebut dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman obat keluarga seperti sambiloto, kunyit, kunyit putih, dan jahe,” kata Eva lagi.

Pengelolaan
Direktur Pengelola Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novrizal Tahar, mengatakan hasil penelitian dari Universitas Toronto mengatakan jika tidak ada upaya intervensi dalam pengelolaan sampah atau aktivitas seperti biasa maka diperkirakan pada 2030 diperkirakan sebanyak 90 juta ton akan masuk ke laut per tahun.
Sementara jika dilakukan intervensi pengurangan sampah misalnya pelarangan penggunaan plastik sekali pakai maupun peningkatan kapasitas pengelolaan sampah dan lainnya, diperkirakan sebanyak 20 juta hingga 53 juta ton sampah plastik masuk ke laut per tahunnya.

Menurut Novrizal, tantangan tersebut tidak mudah, malah cenderung lebih berat. Apalagi dengan kondisi pandemi Covid-19, penggunaan sampah plastik menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Hal itu karena perubahan perilaku masyarakat yang lebih memilih belanja secara daring sehingga banyak menggunakan plastik sekali pakai dalam pengemasannya.
“Kondisi pandemi Covid-19 ini menambah beban baru persoalan sampah. Terutama sampah plastik, karena dalam pengemasan paket belanja daring menggunakan plastik sekali pakai,” ujar Novrizal.

Kondisi itu menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi dari hari ke hari tidak semakin ringan. Belum lagi pada masa pandemi ini harga minyak dunia mengalami penurunan, yang mengakibatkan industri daur ulang tidak lagi kompetitif karena lebih mahal dari harga virgin plastik minyak bumi.
Pengelolaan sampah harus dilakukan secara terintegrasi. Tidak hanya sekadar pemilahan sampah saja tetapi juga dari hulu ke hilir. Misalnya dari hulu dilakukan upaya pengurangan sampah maupun daur ulang sampah. Kemudian kapasitas Pemda dalam pengelolaan sampah juga ditingkatkan mulai dari sumber daya manusia, teknologi, hingga ketersediaan truk.

Sumber: beritasatu.com