Perubahan iklim merupakan tantangan besar yang sedang dihadapi oleh pemerintah dunia. Mengatasi perubahan iklim dapat diatasi melalui pendekatan tata kelola multi-level dapat ditelisik melalui tiga dimensi yaitu, koordinasi, kekuasaan, dan kelembagaan. Isu koordinasi lintas tingkatan, sektor, dan kelompok aktor menjadi pembahasan pada dimensi koordinasi. Tak hanya itu, dalam mengatasi perubahan iklim juga terdapat isu kekuasaan dan konflik dari setiap pemangku kepentingan, partai politik dan entitas masyarakat menjadi perhatian. Selain itu pada struktur, dinamika serta pembahasan kewenangan institusional menjadi titik tekan pada strategi kebijakan mengatasi perubahan iklim. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Jens Marquardt yaitu seorang Research Associate at the Technical University Darmstadt, Jerman.

“Terdapat kompleksitas tiga dimensi ketika mengatasi perubahan iklim yang saya highligt yaitu koordinasi (coordination), kekuasaan (power struggle), kelembagaan (institutional). Untuk itu, diperlukan tata kelola yang baik yang memuat tentang cara-cara yang dilembagakan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan masyarakat, antara aktor negara dan non-negara terhadap ketentuan aturan yang mengikat secara kolektif,” kata Dr. Jens.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ selaku Ketua Klaster Policy, Governance and Administrative Reform (PGAR FIA UI) menyebut multi-level governance merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang vada termasuk dalam mengatasi perubahan iklim yang melanda hampir seluruh belahan dunia saat ini. Namun, disamping itu, kata Prof.Eko, perlu dilakukan pengendalian kebijakan pemerintah daerah dan tentunya dalam komitmen implementasi, kapabilitas, dan efektivitas perannya.

“Di Indonesia tantangan untuk mengatasi perubahan iklim cukup besar. Untuk koordinasi dalam multilevel governance di Indonesia cukup fluktuatif dalam hal kapabilitas dan kapasitas. Sehingga untuk mengintegrasikan kepentingan pemangku kepentingan menjadi hal cukup sulit,” kata Prof. Eko.

Kemudian, Dr. Jens menjelaskan mengenai Perjanjian Paris yang menandai tonggak penting dalam politik iklim internasional. Dengan pengadopsiannya, para pihak meminta aktor non- dan sub-negara untuk berkontribusi pada agenda iklim global dan menutup kesenjangan emisi yang ditinggalkan oleh negara. Pengaturan fasilitatif seperti itu mencakup aksi iklim non-negara melalui upaya bersama, sinergi, dan berbagai mode kolaborasi.

“Pada saat yang sama, aktor non-negara selalu memainkan peran kritis dan konfrontatif dalam tata kelola iklim internasional. Berdasarkan tinjauan literatur sistematis, kami mengidentifikasi dan menilai secara kritis peran aksi iklim non-negara dalam rezim tata kelola iklim pasca-Paris yang fasilitatif. Oleh karena itu, kami menyoroti tiga tema konstitutif, yaitu hubungan negara-non-negara yang berbeda, tingkat ambisi yang bersaing, dan berbagai landasan pengetahuan,” ungkap Dr.Jens.

Pelembagaan politik, kata Dr. Jens, proses mengembangkan atau mengubah aturan formal dan informal (termasuk organisasi) – adalah mata rantai yang hilang dalam menjembatani kesenjangan antara studi mitigasi iklim dan pembangunan rendah karbon yang lebih luas. Oleh karena itu, tujuan studi ini adalah untuk menjelaskan mengapa pelembagaan politik mitigasi perubahan iklim berkembang dengan kecepatan yang berbeda, dan mengapa dalam beberapa kasus hanya ada sedikit kemajuan atau bahkan pembalikan pencapaian di masa lalu.

“Pelembagaan dapat terjadi di dalam sistem politik (yaitu dalam hal politik, politik, dan kebijakan) dan di luarnya dalam masyarakat yang lebih luas (yaitu dalam hal struktur, proses, dan konten sosial dan ekonomi). Dalam studi ini, kami hanya fokus pada pelembagaan dalam sistem politik (dan administrasi), karena dinamika politik sangat menentukan dan merupakan prasyarat untuk perubahan sosial dan ekonomi,” lanjutnya.

Prof. Dr. Martani Huseini menyebut beberapa pemerintah daerah, merupakan inisiatif dari inisiatif masyarakat. Sehingga segala aturan yang diberlakukan akan diimplementasikan oleh masyarakat bergantung pada pemimpin lokal – kelembagaan. Oleh karena itu, kata Prof. Martani, kepemimpinan politik merupakan hal yang sangat penting. Selain itu, inovasi ekologis dan litigasi peran masyarakat sebagai kebijakan juga menjadi pendukung untuk mencapai multi-level governance untuk mengatasi perubahan iklim.

Sebagai informasi, hal tersebut diungkapkan pada acara Acara Brownbag Discussion “Climate: A Multi-Level Governance Challenge” yang berlangsung di Ruang Rapat Utama FIA UI Depok pada Rabu, 10 Mei 2023.