Korupsi merupakan masalah besar yang kerap kali dirasakan oleh negara di dunia khususnya negara berkembang. Sebagian besar literatur yang ada tentang energi dan korupsi, berfokus terhadap kasus korupsi pada bahan bakar fosil. Namun, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa risiko korupsi juga muncul di pasar energi terbarukan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Vishnu Juwono, S.E., MIA yang merupakan dosen tetap administrasi publik di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dalam kegiatan diskusi publik Side Event Civil 20 Summit, Recover Together, Recover Stronger: Energy Transition Without Corruption pada Kamis, 6 Oktober 2022 malam.

“Pada tahun 2019, sekitar 11% dari energi primer global berasal dari energi terbarukan. Melihat angka ini, kita masih harus terus berusaha dan berinovasi agar nilai ini semakin meningkat di tahun-tahun mendatang,” katanya.

Meskipun persentase dari energi terbarukan masih terbilang kecil, korupsi menjadi tantangan besar bagi peningkatannya. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah langkah untuk mengurangi kasus korupsi khususnya pada sektor energi terbarukan. Dalam acara ini, Dr. Vishnu memaparkan “Policy Recommendations for Anti-Corruption Policy in the Renewable Energy Sector: Regulation, Transparency, and Public Participation”

“Bentuk korupsi di sektor energi terbarukan adalah pada belanja publik untuk program dan subsidi energi terbarukan. Selain itu, terdapat juga kecurangan tender; suap, inefisiensi, dan salah urus; pencurian; penggelembungan biaya pengembangan infrastruktur energi terbarukan; serta alokasi kontrak publik untuk energi terbarukan yang tidak efisien kepada mereka yang bersedia menyuap daripada mereka yang paling mampu memberikan layanan yang dibutuhkan,” imbuh Dr. Vishnu.

Dr. Vishnu memberikan Rekomendasi Kebijakan Anti Korupsi di Sektor Energi Terbarukan: Regulasi, Transparansi, dan Partisipasi Publik. Regulasi yang dimaksud diantaranya adalah pelarangan atau blacklist perusahaan atau lembaga yang terbukti melanggar aturan terutama terkait kolusi, korupsi dan nepotisme dalam proyek energi terbarukan.

“Selain itu, dalam bidang regulasi perlu adanya harmonisasi regulasi dalam mendukung kebijakan anti korupsi, terutama terkait konflik kepentingan energi terbarukan sektor; menerapkan alat evaluasi proyek energi terbarukan yang inovatif dari lembaga keuangan dan lembaga non-pemerintah; mewajibkan penyelenggara proyek untuk melakukan studi kelayakan proyek energi terbarukan; dan melibatkan lembaga audit dalam proyek energi terbarukan dari hulu ke hilir,” ungkapnya.

Kemudian untuk rekomendasi kebijakan dalam bidang transparansi terdiri dari Beneficial Owner Transparansi dan pelaporan kegiatan politik perusahaan; menciptakan platform transparansi proyek energi terbarukan yang dapat diakses publik; dan menerapkan aturan transparansi proyek energi terbarukan dalam rangka membentuk tanggung jawab bersama dalam proyek.

“Untuk bidang partisipasi publik, perlu untuk memberikan akses informasi dan secara masif menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang partisipasi masyarakat dari hulu ke hilir terkait proyek energi terbarukan yang merupakan tanggung jawab bersama dan menerapkan aturan partisipasi masyarakat dalam proyek energi terbarukan,” tutupnya.

Sebagai informasi, dalam acara ini turut hadir Dadang Trisasongko dari Chair ACWG C20; Laode M. Syarif dari Kemitraan Indonesia; Siti Juliantari Rachman dari Indonesia Corruption Watch; Blair Glencore dari Accountability Lab; Budi Santoso dari ACWG G20; Nurkholis Hidayat dai Lokataru Foundation; Mouna Wasef dari PWYP Indonesia; Wawan Suyatmiko dari TI Indonesia; dan Ferdian Yazid dari TI Indonesia sebagai moderator.