Perkembangan digitalisasi industri telah mempengaruhi perkembangan model transaksi baru dalam sistem perdagangan saat ini, yang saat ini dikenal melalui Sistem Elektronik atau disingkat dengan istilah PMSE.

Pernyataan tersebut merupakan bagian dari pembuka pada acara Promosi Doktor yang digelar di Auditorium Edisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) secara hybrid (daring dan luring), Rabu siang (22/6/2022). Hendri merupakan lulusan Doktor ke-13 dari program Doktoral Ilmu Administrasi di FIA UI.

Selain itu, Hendri juga menjelaskan bahwa persoalan perpajakan internasional menjadi isu utama dalam transaksi digital lintas batas. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan atau yang dikenal dengan sebutan OECD telah menjadikan persoalan ini menjadi persoalan global yang harus diselesaikan secara bersama.

“Namun, otoritas pajak mengalami kesulitan dalam mengatur hak pemajakan atas transaksi digital lintas batas yang tidak mengenal batas yurisdiksi dan wilayah ini. Konsep pemajakan yang mengharuskan adanya kehadiran fisik atau physical presence sebagai syarat dari terbentuknya suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana diatur dalam banyak tax treaty merupakan persoalan utama dalam model transaksi digital ini,” katanya.

Lebih lanjut, Hendri menjelaskan bahwa kompleksitas dalam aturan perpajakan seperti persoalan tarif pajak, penerapan aturan yang belum jelas merupakan tantangan lainnya yang harus dihadapi dalam transaksi digital lintas batas ini. Sejalan dengan hal tersebut, Hendri mengutip pendapat Harbolt pada tahun 2019 bahwa transaksi digital lintas batas memunculkan potensi penghindaran pajak. Kondisi ini mempersulit identifikasi nexus atau tax connecting factor dan yurisdiksi pajak negara sumber dan atribusi penghasilan tanpa adanya aktivitas ekonomi. Digitalisasi perdagangan telah mengurangi kapasitas fiskus memajaki transaksi dan penghasilan pasar virtual karena pengembangan regulasinya belum mampu menjawab berbagai masalah.

“Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar tax treaty yang ada di Indonesia masih mengandalkan konsep physical presence sebagai syarat terbentuknya BUT. Efektivitas dari penerapan Multilateral Instrument yang ada juga sangat bergantung pada kesepakatan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Peraturan terkait significant economic presence yang ada dalam Perppu 1 tahun 2020 juga belum sepenuhnya dapat diimplementasikan,” ujarnya.

Hendri kemudian menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk skema penghindaran pajak yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pertama, skema penghindaran BUT dengan cara menghindari kehadiran fisik di Indonesia, melakukan fragmentasi kegiatan usaha, dan menjalankan fungsi preparatory dan auxiliary, skema penghindaran ini dilakukan karena memanfaatkan celah peraturan dalam tax treaty yang ada selama ini.

“Kedua, dengan memanfaatkan skema pembayaran melalui media atau platform luar negeri; hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dalam sistem payment gateway. Ketiga, Penghindaran pajak dengan melakukan praktik transfer pricing melalui skema perjanjian cost contribution terkait pengalihan aset tak berwujud di negara dengan tarif pajak rendah untuk kemudian dilisensikan ke entitas di negara lain,” ujarnya.

Bertindak sebagai ketua sidang pada acara ini Dekan FIA UI Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., MM., Dr. Ning Rahayu, M.Si selaku promotor, Dr. Milla Sepliana Setyowati, M.Ak. selaku kopromotor, serta penguji yang hadir secara langsung diantaranya Dr. Machfud Sidik, M.Si., Dr. Prianto Budi S, Ak., CA., MBA., dan penguji yang hadir secara daring, yaitu Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si., Prof. Gunadi, dan Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.,sc.,