Batubara sebagai sumber daya alam dari fosil merupakan sumber energi yang penting bagi Indonesia. Sehingga, perlu dicari jawaban baru atas dinamika dan tantangan dari skenario tata kelola Batubara di masa depan. Pengembangan model (proxy model) dengan metode System Dynamics memperlihatkan kemultiwajahan tata kelola, di mana berbagai kebijakan, norma, dan tatanan perilaku sebagai interaksi antara pemerintah (government), pelaku usaha, dan komunitas/masyarakat secara sendiri-sendiri atau bersamaan saling mempengaruhi, memberikan respons dinamis atas perubahan dan/atau intervensi yang terjadi dan tidak hanya satu tipe tata kelola yang dominan untuk keseluruhan sistem.

Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Sidik Pramono, secara daring dalam Sidang Promosi Doktor yang diselenggarakan secara virtual pada Selasa sore (28/12). Disertasi yang bertemakan Dinamika dan Skenario Tata Kelola Batubara Indonesia tersebut disusun dengan bimbingan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. selaku promotor dan Dr. Andreo Wahyudi Atmoko selaku kopromotor dan sidang tersebut dipimpin oleh Dekan FIA UI Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M.

Menurutnya, skenario tata kelola batubara Indonesia dibangun didasari sebuah visi yang hendak dituju, yang dalam proxy model kemudian disimulasikan berdasarkan intervensi terhadap variabel dalam sistem, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan sesuai dengan konsep strategi yang bukan hanya tergantung pada sebuah kebijakan tunggal, tetapi juga dibangun pendekatan dengan beragam intervensi variabel. “Terdapat beberapa pilihan skenario alternatif yang didasari visi yang berbeda-beda, seperti ‘menahan cerobong pembangkit’ yang didasari visi untuk membuat kondisi lingkungan lebih baik dan ‘menahan aliran keluar’ dengan visi mendahulukan kepentingan dalam negeri di mana eksploitasi sumber daya hanya dilakukan secara terbatas sesuai dengan kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.

Dalam penelitiannya, dinamika tata kelola batubara Indonesia khususnya menyangkut kebijakan perizinan pengusahaan tercerminkan dengan pergeseran kelembagaan yang mengatur dan mengimplementasikan ketentuan formal yang harus dijalankan, yakni dari sentralisasi di mana kontrol oleh pemerintah di tingkat pusat (national level) dominan, sempat bergeser ke arah desentralisasi, dan kembali ke sentralisasi di mana perizinan menyangkut pengusahaan dan pengolahan batubara Indonesia kembali ditangani langsung oleh pemerintah pusat. “Dinamika tata kelola memperlihatkan berpadunya beragam tipe tata kelola dengan keterlibatan dan peran para pemangku kepentingan dalam sistem, yakni tata kelola hierarki, pasar, dan jejaring yang secara bersama-sama saling mempengaruhi, memberikan respons dinamis atas perubahan dan/atau intervensi yang terjadi,” jelasnya.

Faktor-faktor tata kelola yang direpresentasikan dalam sebuah model dinamis sebagai “proxy” untuk melihat permasalahan yang sangat rumit, dapat dikelompokkan kedalam tiga subsistem utama dalam sistem tata kelola batubara Indonesia. “Yaitu, yang menyangkut ketersediaan sumber daya, rantai pasok, dan juga dinamika pasar, yang keseluruhannya bekerja dan saling mempengaruhi dalam berbagai level dari tingkat lokal sampai ke level global. Rumititas faktor yang mempengaruhi tata kelola batubara Indonesia juga ditandai dengan interaksi yang terjadi antara pemerintah (government/G), pihak swasta (private sector/P), dan masyarakat (community/C),” jelasnya.

Dirinya menambahkan, faktor-faktor yang mempengaruhi tata kelola batubara Indonesia tersebut bergerak secara dinamis dengan dilandasi oleh mental model yang berbeda-beda, bergantung pada dominasi tipe tata kelola dan juga para pemangku kepentingan pada masing-masing subsistem.

“Pola hubungan antar faktor yang terjadi dalam simulasi proxy model dengan pola perilaku selama ini yang ditunjukkan dengan data historis, memperlihatkan kecenderungan akan terjadinya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan di dalam negeri yang mana memperlihatkan pentingnya intervensi pemerintah sebagai wakil negara dengan formulasi arah dan kebijakan serta penegakan ketentuan secara optimal –yang menekankan dominasi hierarchy governance dalam hal perancangan dan implementasi kebijakan,” jelas Sidik.

Dari skenario alternatif yang disimulasikan, Dirinya menjelaskan bahwa skenario ideal dengan mempertimbangkan prioritas pemenuhan kebutuhan dalam negeri ibarat perpaduan antara kemampuan “memainkan tuas gas dan rem” karena perbaikan kondisi yang berjalan sejauh ini tidak bisa hanya dilakukan dengan melakukan intervensi pada satu sisi atau faktor tertentu saja, tanpa mempertimbangkan kondisi secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan dan/atau mempertimbangkan para aktor yang terdampak atau berpengaruh dalam sistem tata kelola batubara Indonesia.

“Dalam skenario tersebut, kapasitas produksi batubara Indonesia harus dikontrol, di mana batubara yang diproduksi kemudian diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu, terutama untuk kebutuhan pembangkit listrik yang selama ini menyerap alokasi terbanyak produksi batubara Indonesia,” terangnya.

Kondisi ini sekaligus untuk memberikan waktu yang memadai sebagai periode transisi andaikan disepakati untuk beralih prioritas pengadaan listrik dari sumber energi baru dan terbarukan. Berikutnya, alokasi batubara untuk ekspor pun harus dibatasi. Kesempatan untuk meningkatkan kapasitas ekspor terbuka ketika target pemenuhan dalam negeri sudah tercapai dan kapasitas pasar dalam negeri sudah mencapai titik positif, yang berdasarkan data empiris diproyeksikan terjadi setelah tahun 2040.

Pada sudut pandang kebijakan, model tata kelola batubara Indonesia sebagaimana disimulasikan dalam penelitian ini memperlihatkan bagaimana intervensi fungsional dalam sistem tidak akan memberikan perubahan pola secara signifikan yang merupakan cerminan perilaku yang terjadi selama ini. “Hal tersebut menegaskan bahwa upaya mengoptimalkan batubara Indonesia membutuhkan pendekatan yang jauh lebih rumit, dengan perubahan tata kelola secara struktural dan komprehensif yang mengharuskan perubahan responsif dari variabel/faktor sebagaimana telah diidentifikasi dalam model tata kelola batubara Indonesia. Perubahan tersebut membutuhkan peran berbagai pihak, yang dengan kewenangan ataupun kekuatannya bisa mempengaruhi tata kelola lewat kebijakan, norma, ataupun praktik-praktik baik yang bisa dilakukan. Orkestrasi tata kelola diperlukan dengan kesesuaian atas tujuan tata Kelola,” simpulnya.

Sementara secara teoritis, Sidik menekankan bahwa penelitian ini memberikan kontribusi untuk pengembangan teori tata kelola (governance), terutama mengenai sumber daya alam dan khususnya mengenai batubara. “Dari penelitian dapat diketahui berbagai faktor dalam governance bekerja bersama-sama, menggerakkan sistem secara keseluruhan sebagai sebuah kesatuan model. Pendekatan hierarkis, pasar, maupun jejaring bisa bekerja bersama dengan interaksi dan kekuatan pengaruhnya masing-masing. Hal ini memperkaya konsep governance yang kolaboratif dan/atau hybrid, yang memungkinkan para pihak mengambil peran untuk mempengaruhi setiap faktor/variabel dalam model tata Kelola,” tukasnya.