Tax justice adalah isu yang sangat penting untuk dibahas. Bagaimana tax justice itu dan bagaimana hubungannya dengan transparansi dan akuntabilitas sangat perlu untuk diketahui. Isu ini sangat krusial karena berhubungan dengan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pengambil kebijakan, keberlanjutan, sustainability, dan menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendasar.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dra. Inayati, M.Si. dalam acara Pre C-20 Summit – TSF WG “Road to G20 Summit: Addressing Transparency and Accountability toward Sustainable Finance, Tax Justice, and Sovereign Debt Regulation yang berlangsung secara hybrid di Gedung FIA UI dan melalui platform zoom pada Kamis, 22 September 2022 pagi.

“C20 sebagai official engagement untuk G20 berkomitmen untuk menengahkan pembahasan isu yang faktual dna bisa meng-address problem. Indonesia sebagai developing countries berkomitmen untuk menyuarakan kepentingan developing countries lainnya bersama dengan C20,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Prakarsa sekaligus Sherpa C20 Presidensi Indonesia 2022.

Ah Maftuchan menyebut bahwa tujuan utama dari penyelenggaraan acara C20 adalah untuk menjaga akuntabilitas pajak yang berarti apa yang disampaikan ke publik adalah merupakan hasil dari apa yang sudah dikerjakan dan disampaikan secara transparan.

Dalam acara ini, terdapat tiga topik isu yang dibahas. Yang pertama adalah topik isu Perpajakan Nasional yang didalamnya membahas mengenai Pajak kekayaan (Wealth Tax) sebagai sumber pendapatan alternatif yang strategis untuk mendanai pembiayaan kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan mengurangi ketimpangan; memasukkan dimensi kesetaraan gender dalam kebijakan perpajakan; G20 harus memastikan mekanisme pajak karbon yang efektif, transparan, dan akuntabel; perlunya pembentukan Badan Pajak PBB untuk Pajak Global (UN Tax Convention); dan menanggulangi aliran keuangan gelap dan buruknya transparansi seperti pada Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Kerangka Inklusif Pilar 1 & 2.

Topik kedua adalah Isu Keuangan Berkelanjutan yang terdiri dari gagasan perlunya agenda keuangan berkelanjutan G20 yang lebih progresif, inklusif, dan koheren melalui penerapan peraturan dan langkah-langkah yang mengikat secara hukum; yurisdiksi G20 untuk pembentukan taksonomi hijau atau taksonomi berkelanjutan, yang melibatkan CSO dan semua pemangku kepentingan sedari awal pembuatan kebijakan; kebutuhan untuk sepenuhnya mengintegrasikan prinsip-prinsip berkeadilan ke dalam kerangka transisi

Topik ketiga adalah isu Perlakuan Utang Negara yang terdiri dari perlunya reformasi arsitektur utang global di bawah pengawasan PBB: menciptakan mekanisme restrukturisasi utang yang jelas, lebih tepat waktu, dan teratur; perlunya pendekatan penghapusan/keringanan utang yang lebih efektif dan menegakkan partisipasi semua kreditur, termasuk swasta (Lembaga Keuangan Internasional); menciptakan lebih banyak ruang fiskal bagi negara-negara, khususnya untuk negara yang sedang berada di dalam proses restrukturisasi utang: 1) penerbitan dana SDR IMF, 2) re-channeling SDR, 3) memberikan lebih banyak hibah, 4) mekanisme pinjaman lunak; dan memastikan bahwa “Global Emergency Financing” tidak berbentuk utang dan menambah risiko kerentanan utang bagi negara-negara yang memerlukan.

Usai pemaparan mengenai isu global mengenai perpajakan, Dr. Ning Rahayu sebagai akademisi dari FIA UI memberikan tanggapan terhadap usulan kebijakan yang telah dibuat oleh anggota C20 untuk menjawab isu global tersebut. Dr. Ning menekankan pentingnya keaktifan serta peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan serta terselenggaranya G20 di Indonesia.

“Terkait dengan penunjukan pelaku bisnis digital asing untuk melakukan pemungutan PPN. Dalam rangka mengantisipasi penyelewengan hasil pemungutan PPN oleh perusahaan digital asing tersebut diusulkan agar penerapan ketentuan terkait bantuan penagihan pajak lintas negara diefektifkan,” kata Dr. Ning.

Dr. Alin Halimatussadiah sebagai kepala kajian ekonomi lingkungan LPEM FEB UI memberikan tanggapan terhadap policy recommendation TSF WG C20 untuk isu keuangan berkelanjutan. “Keuangan berkelanjutan merupakan cara untuk mengintegrasikan aspek resiko dan lingkungan dan sosial, menurunkan resiko, meningkatkan portofolio hijau dan berdampak sosial, kemudian menciptakan sebuah peluang,” katanya.

Faisal Bahri mengungkapkan bahwa inti usulan yang diberikan C20 adalah bagaimana mendorong pembangunan dunia yang tidak sekadar hyperglobalization, tetapi juga inklusif, sesuai SDGS, dan participatory development yang melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.

“Peran Indonesia dalam G20 untuk International taxation Issues yakni sebagai presidency G20 tahun 2022 untuk isu perpajakan internasional tak lepas dari tanggung jawabnya dalam menentukan agenda prioritas, mendorong pembahasan, dan mengkoordinasikan kebijakan untuk mewujudkan komitmen dan kerjasama antar negara anggota G20 dalam menangani isu perpajakan internasional,”kata Kepala Kasubdit Perjanjian dan Kerja Sama Perpajakan Internasional Leli Listianawati.